A. PENDAHULUAN
Hukum Islam memiliki suatu sistem. Sistem adalah suatu
kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian dan satu sama lainnya berkaitan
kebergantungan. Setiap elemen terdiri atas bagian-bagian kecil yang berkaitan
tanpa dapat dipisah-pisahkan. Hukum sebagai suatu sistem sampai sekarang
dikenal adanya empat sistem hukum yaitu Eropah Kontinental, sistem Hukum Anglo
Saxon (Amerika), sistem Hukum Islam dan sistem Hukum Adat.
Sumber hukum islam adalah asal (tempat pengambilan) hukum
Islam. Sumber hukum islam disebut juga dengan istilah dalil hukum islam atau
pokok hukum islam atau dasar hukum islam.
Dilihat dari sumbernya-sumber hukumnya, sumber hukum
islam merupakan konsepsi hukum islam yang berorientasi kepada agama dengan
dasar doktrin keyakinan dalam membentuk kesadaran hukum manusia untuk
melaksanakan syari’at, sumber hukumnya merupakan satu kesatuan yang berasal
dari hanya firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad.
Diriwayatkan pada suatu ketika Nabi mengutus sahabatnya
ke Yaman untuk menjadi Gubernur disana. Sebelum berangkat Nabi menguji
sahabatnya Mu’as bin Jabal dengan menanyakan sumber hukum yang akan
dipergunakan kelak untuk memecahkan berbagai masalah dan sengketa yang dijumpai
di daerah tersebut. Pertanyaan itu dijawab oleh Mu’as dengan mengatakan bahwa
dia akan mempergunakan Qur’an, sedangkan jika tidak terdapat di Qur’an dia akan
mempergunakan Hadist dan jika tidak ditemukan di hadist maka dia akan
mempergunakan akal dan akan mengikuti pendapatnya itu. Berdasarkan Hadist Mu’as
bin Jabal dapat disimpulkan bahwa sumber hukum Islam ada tiga, yaitu: Qur’an,
Sunnah Rasul dan Akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad.
B. PERMASALAHAN
1. Apa Pengertian Hukum Islam?
2. Apa tujuan hukum islam?
3. Apa Teori sosial dalam perspektif epistimologi Islam?
C. PEMBAHASAN
1. Pengertian Hukum Islam
Dalam kehidupan sehari-hari hukum Islam sering dikenal
dengan kata
Fiqih Islam atau Syari’at. Kedua kata tersebut dimaksudkan untuk
menunjukkan tentang ajaran agama Islam yang memenuhi aspek-aspek
hukum. Antara kata Fiqih dan Syari’at dalam penggunaan sehari-hari tidak
ada perbedaan arti, padahal kalau dikaji secara mendalam kedua kata tersebut mempunyai arti yang berbeda.
Fiqih Islam atau Syari’at. Kedua kata tersebut dimaksudkan untuk
menunjukkan tentang ajaran agama Islam yang memenuhi aspek-aspek
hukum. Antara kata Fiqih dan Syari’at dalam penggunaan sehari-hari tidak
ada perbedaan arti, padahal kalau dikaji secara mendalam kedua kata tersebut mempunyai arti yang berbeda.
Kata syari’at itu sendiri mencakup seluruh ajaran Islam,
yang
menyangkup ibadah, muamalah, ahklak ataupun Fiqih itu sendiri, yang
semuanya bersumber dalam Al Qur'an. Sedangkan Fiqih hanya sebagian dari Syari’ah tersebut.
menyangkup ibadah, muamalah, ahklak ataupun Fiqih itu sendiri, yang
semuanya bersumber dalam Al Qur'an. Sedangkan Fiqih hanya sebagian dari Syari’ah tersebut.
Menurut para Ulama Syari’ah adalah hukum- hukum yang
berasal
dari Allah untuk para hamba-hamba-Nya yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW melalui wahyu.
dari Allah untuk para hamba-hamba-Nya yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW melalui wahyu.
Menurut istilah Syari’ah itu berarti jalan yang harus
diikuti oleh umat
Islam.[1] Menurut istilah Syari’ah adalah aturan-aturan yang digariskan Allah agar manusia berpegang kepada-Nya, di dalam hubungan manusia dengan
Tuhan-Nya, manusia dengan saudaranya sesama muslim, dengan alam dan di dalam hubungannya dengan kehidupannya.[2]
Islam.[1] Menurut istilah Syari’ah adalah aturan-aturan yang digariskan Allah agar manusia berpegang kepada-Nya, di dalam hubungan manusia dengan
Tuhan-Nya, manusia dengan saudaranya sesama muslim, dengan alam dan di dalam hubungannya dengan kehidupannya.[2]
Jadi dapat diketahui bahwa Syari’at adalah semua yang
difirmankan
Allah SWT baik yang diperintahkan maupun yang dilarang yang
berhubungan dengan perbuatan setiap umat muslim dalam menjalani
kehidupan.
Sedangkan Fiqih menurut bahasa berarti memahami, mengetahui dan
mendalami ajaran-ajaran agama secara keseluruhan.3 Sedangkan menurut
istilah Fiqih adalah mengetahui hukum-hukum syara’ yang amaliah
(mengenai perbuatan perilaku) dengan melalui dalil-dalilnya yang terperinci.
Allah SWT baik yang diperintahkan maupun yang dilarang yang
berhubungan dengan perbuatan setiap umat muslim dalam menjalani
kehidupan.
Sedangkan Fiqih menurut bahasa berarti memahami, mengetahui dan
mendalami ajaran-ajaran agama secara keseluruhan.3 Sedangkan menurut
istilah Fiqih adalah mengetahui hukum-hukum syara’ yang amaliah
(mengenai perbuatan perilaku) dengan melalui dalil-dalilnya yang terperinci.
Fiqih adalah ilmu yang dihasilkan oleh pikiran ijtihad
(penelitian) dan
memerlukan wawasan perenungan.
memerlukan wawasan perenungan.
2.
Tujuan Hukum Islam
Hukum yang mejadi penutan masyarakat merupakan
cita-cita social yang tidak pernah berhenti dikejar sampai akhir hayat.
Cita-cita sosial bersandarkan pada
hukum.Setiap keberadaan hukum tidak dapat terlepas dari tujuan dan harapan
subjek hukum.Harapan manusia terhadap hukum pada umumnya meliputi harapan
keamanan dan ketenteraman hidup tanpa batas waktu.
Manusia berharap pada beberapa hal-hal
berikut:-
1-
Kemaslahatan hidup bagi diri orang lain
2- Menegakkan keadilan
3- Persamaan hak dan kewajipan dalam hukum
4- Saling control dalam masyarakat
5- Kebebasan berekpresi,berpendapat,bertindak dengan tidak melebihi batasan hukum.
6- Regenerasi sosial yang positif dan bertanggungjawab
Apabila satu minit sahaja kehidupan sosial tidak terjamin
oleh hukum yang kuat,masyarakat dengan semua komponannya akan rosak,karena seminit
tanpa adanya jaminan hukum bagaikan adanya bencana yang melanda dalam sesuatu
masyarakat tersebut.
Asas legalitas sebagai pokok dari hidup dan berlakunya
hukum .Yang berbahaya lagi adalah memendan hukum tidak berguna lagi karena
keberpehakan hukum kepada keadilan dan persamaan hak sehingga masyarakat kurang
percaya kepada hukum.
Cita-cita hukum adalah menegakkan keadilan,tetapi yang
menegakkan keadilan bukan teks-teks hukum,melainkan manusia yang meneria
sebutan hakim,pengacara penguasa hukum,penegak hukum,polisi dan sebagainya.
Identitas hukum Islam adalah adil,member rahmat dan mengandungi hikmah yang banyak bagi kehidupan.Dengan yang demikian setiap hal yang merupakan kezaliman, tidak member rasa keadilan, jauh dari rahmat, menciptakan kemafsadatan bukan merupakan tujuan hukum Islam.
Identitas hukum Islam adalah adil,member rahmat dan mengandungi hikmah yang banyak bagi kehidupan.Dengan yang demikian setiap hal yang merupakan kezaliman, tidak member rasa keadilan, jauh dari rahmat, menciptakan kemafsadatan bukan merupakan tujuan hukum Islam.
Asy Syatibi mengatakan bahawa tujuan Syariat Islam adalah
mencapai kemaslahatan hamba baik di dunia maupun di akhirat.Antara kemaslahatan
tersebut adalah seperti berikut:
1.
Memelihara Agama
2.
Memelihara Jiwa
3.
Memelihara Akal
4.
Memelihara Keturunan
5.
Memelihara Kekeyaan
3.
Teori sosial dalam perspektif Epistimologi Islam[3]
Ilyas
Ba-Yunus membagi paradigma sosiologi ke dalam tiga bagian yaitu: paradigma
struktural-fungsional, paradigma konflik, dan interaksionisme simbolik.
Paradigma pertama digagas oleh para sosiolog Eropa, yaitu Max Weber, Emile
Durkheim, Vilfredo Patero, dan yang pertama kalinya Talcott Parson. Paradigma
ini didasarkan pada dua asumsi dasar :
a.
Masyarakat terbentuk atas
substruktur-substruktur yang dalam fungsi mereka masing-masing, saling
bergantungan, sehingga perubahan yang terjadi dalam fungsi satu substruktur,
akan mempengaruhi pada substruktur lainnya.
b.
Setiap substruktur yang telah mantap akan
menopang aktivitas-aktivitas atau substruktur lainnya.
Teori
ini dikritik karena mengabaikan peranan konflik, ketidaksepakatan, perselisihan
dan evolusi dalam menganalisis masyarakat. Pendekatan ini dianggap juga
mendukung status-quo (apa yang sudah ada itu adalah baik), dan orang kemudian
menduga bahwa teori ini membenarkan dan memajukan struktur kapitalistis
demokrasi Barat. Paradigma kedua adalah pendekatan yang dikembangkan oleh Karl
Marx. Paradigma ini didasarkan pada dua asumsi, yaitu:
a. Kegiatan ekonomi sebagai faktor penentu utama
semua kegiatan masyarakat.
b. Melihat
masyarakat manusia dari sudut konflik di sepanjang sejarahnya. Marx, dalam
Materialisme Historis-nya memasukkan determinisme ekonomi sebagai basis
struktur yang dalam proses relasi sosial dalam tubuh masyarakat akan
menimbulkan konflik antara kelas atas dan kelas bawah.
Paradigma di atas memang menjadi dominan dalam
kajian sosiologi. Tapi, untuk mempermudah bayangan kita tentang mana pendekatan
yang utama maka di sini akan dibahas analisis Habermas dalam membagi paradigma
ilmu-ilmu sosial, termasuk juga kategori sosiologis :
1.
Paradigma instrumental. Dalam paradigma
“instrumental” ini, pengetahuan lebih dimaksudkan untuk menaklukkan dan
mendominasi obyeknya. Paradigma ini sesungguhnya adalah paradigma positivisme,
atau dekat dengan paradigma fungsional. Positivisme adalah aliran filsafat
dalam ilmu sosial yang mengambil cara kerja ilmu alam dalam menguasai benda,
dengan kepercayaan pada universalisme dan generalisasi. Untuk itulah,
positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dengan nilai (value) agar didapati
suatu pemahaman yang obyektif atas realitas sosial.
2.
Pradigma intepretatif. Dasar dalam paradigma
ini adalah fenomenologi dan herme neutik, yaitu tradisi filsafat yang lebih
menekankan pada minat yang besar untuk memahami. Semboyannya adalah “biarkan
fakta berbicara atas nama dirinya sendiri”. Yang ingin dicapai hanya memahami
secara sungguh-sungguh, tapi tidak sampai pada upaya untuk melakukan
pembebasan. Prinsipnya tetapi bebas nilai, walaupun kelompok paradigma ini
kontra dengan positivisme.
3.
Paradigma kritik. Paradigma ini lebih dipahami
sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan.
Prinsipnya sudah tidak lagi bebas nilai, dan melihat realitas sosial menurut
perspektif kesejarahan (historisitas). Paradigma ini menempatkan rakyat atau
manusia sebagai subyek utama yang perlu dicermati dan diperjuangkan.
Positivisme telah menyebabkan determinisme dan dominasi irasional dalam
masyarakat modern. Kelompok dalam paradigma ini biasanya diwakili oleh kalangan
critical theory Madzhab Frankfurt.
Beberapa paradigma di atas memiliki kelemahan
dan kelebihan tersendiri. Mengikuti pemikiran Ritzer yang menyatakan bahwa
sosiologi itu adalah ilmu pengetahuan berparadigma ganda, maka sosiologi
profetik, seperti yang pernah diklaim oleh Kuntowijoyo, menghubungkan perbedaan
pada masing-masing paradigma tersebut. Paradigma yang diwakili oleh Emile
Durkheim ternyata memiliki kelemahan karena fakta yang obyektif menjadi sangat
rancu ketika nilai begitu dikesampingkan. Kerja penelitian sosial hanya
bersifat deskriptif saja, sehingga hal demikian menimbulkan kemandulan dalam
teoritisasi ilmu sosial.
Pendekatan yang diwakili oleh Weber dengan
verstehen -nya ternyata masih menganggap fakta dan realitas sosial hanya
sesuatu yang cukup dipahami, tapi tidak perlu ada upaya kritis untuk melihat
bagaimana fakta dan realitas itu memiliki sejarah yang mesti dikritisi.
Paradigma kritik, penulis yakin, akan lebih bisa berkesesuaian dengan
pendekatan profetika dalam kajian sosiologi karena melihat masyarakat secara
kritis dan perlu adanya keterlibatan aktif sosiolog dalam proses perubahan
sosial.
Dengan prinsip “multi-paradigma” itulah,
sosiologi profetik berkeinginan mencari kelebihan dari masing-masing paradigma,
karena tidak mungkin di tengah persoalan yang sangat kompleks ini kita hanya
berlandaskan pada satu teori atau satu paradigma saja. Kelebihan yang dimiliki
pada paradigma fakta sosial, yang sangat terpengaruh oleh positivisme, adalah
terletak pada netralitas dan obyektivitas. Tapi, kelemahannya tidak bisa
melihat pada sisi historitas obyek kajian.
Untuk itulah paradigma definisi sosial, atau
yang bisa kita sebut sebagai paradigma intepretatif, bisa diadopsi sebagai
sebuah paradigma ilmu untuk memahami kenyataan sosial. Proses memahami itu
perlu memasukkan pendekatan hermeneutik dan fenomenologi agar realitas bisa
didekati secara lebih mendalam. Dan barulah kemudian kita masuk pada pendekatan
kritis untuk memahami dinamika masyarakat. Dan sosiologi pun tidak berhenti
hanya sekedar sebagai ilmu deskriptif, tapi juga mampu melakukan perubahan
sosial secara positif.
Akhirnya, kita tidak lagi hanya berpatokan pada
pengetahuan yang bebas nilai, tapi nilai menjadi bagian inherent dalam
pengamatan sosial. Sosiologi profetik, penulis kira, sangat dekat dengan
pendekatan ilmu sosial kritis, tapi hanya saja dalam sosiologi profetik
“realitas kenabian” sebagai kerangka kerja ilmiah dipakai untuk memahami
masyatakat. Sosiologi profetik juga tidak mengabaikan pentingnya analisis
kultural yang menjadi bagian penting dalam realitas sosial.
D. KESIMPULAN
Fiqih Islam atau Syari’at. Kedua kata tersebut
dimaksudkan untuk
menunjukkan tentang ajaran agama Islam yang memenuhi aspek-aspek
hukum.
menunjukkan tentang ajaran agama Islam yang memenuhi aspek-aspek
hukum.
Syari’at adalah semua yang difirmankan Allah SWT baik yang diperintahkan maupun yang dilarang yang berhubungan dengan perbuatan setiap umat muslim dalam menjalani kehidupan. tujuan Syariat Islam adalah mencapai kemaslahatan hamba baik di
dunia maupun di akhirat.
Untuk itulah paradigma definisi sosial, atau
yang bisa kita sebut sebagai paradigma intepretatif, bisa diadopsi sebagai
sebuah paradigma ilmu untuk memahami kenyataan sosial. Proses memahami itu
perlu memasukkan pendekatan hermeneutik dan fenomenologi agar realitas bisa
didekati secara lebih mendalam. Dan barulah kemudian kita masuk pada pendekatan
kritis untuk memahami dinamika masyarakat. Dan sosiologi pun tidak berhenti
hanya sekedar sebagai ilmu deskriptif, tapi juga mampu melakukan perubahan
sosial secara positif.
E. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, kritik dan
saran yang membangun sangat kami harapkan guna pembenahan ke depannya agar
lebih baik dan baik lagi. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya
dan bagi pembaca umumnya.
F. REFERENSI
v
Ramulyo, Mohd. Idris, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2004
v
Berry, David, Beberapa Pendekatan dalam
Perubahan Sosial, terjemahan, Jakarta: Graffiti Press, 1988
v
Tujuan Hukum Islam http://ms.shvoong.com/books/dictionary/1916025-tujuan-hukum-islam/#ixzz1I58xdpnS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar