Kamis, 14 Februari 2013

WASIAT DAN HIBAH


A.    Pendahuluan
Agama Islam menganjurkan umatnya untuk menikah dan membentuk suatu keluarga yang bahagia dunia akhirat, salah satu tujuan menikah adalah untuk mendapatkan keturunan setelah mendapatkan keturunan (anak) maka pasangan suami istri tersebut dapat dikatakan sebagai keluarga.
Manusia pasti akan mati, begitu juga dalam sebuah keluarga pasti ada yang meninggal dan ada yang ditinggalkan baik itu berupa anggota keluarga maupun harta. Biasanya seseorang yang mau meninggal memberikan pesan (wasiat) kepada seseorang yang dipercayadan ada pula orang yang mau meninggal menghibahkan hartanya kepada keluarga yang ditinggalkan. Inti keduanya adalah agar harta yang ditinggalkan tidak menjadi perselisihan antara keluarga yang ditinggalkan. 
B.     Permasalahan
1.      Apa pengertian wasiat?
2.      Apa dasar hukum wasiat?
3.      Apa saja syarat dan rukun wasiat?
4.      Apa pengertian hibah?
5.      Apa dasar hukum hibah?
6.      Apa saja syarat dan rukun hibah?
7.      Apa hubungan hibah dengan warisan?
C.     Pembahasan
1.      Pengertian wasiat
Secara bahasa wasiat artinya berpesan. Sedangkan wasiat menurut istilah tindakan seseorang memberikan hak kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik berupa benda atau manfaat secara sukarela yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah peristiwa kematian orang yang memberi wasiat.
Fuqaha Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikan wasiat lebih rinci yaitu : suatu transaksi yang mengharuskan si penerima wasiat berhak menerima 1/3 harta peninggalan si pemberi setelah meninggal, atau yang mengharuskan penggantian hak 1/3 harta si pewasiat kepada penerima. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia (ps 171 huruf F KHI)
2.      Dasar hukum wasiat
Para ulama mendasarkan wasiat kepada Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’, dalam konteks hokum Islam di Indonesia Kompilasi merupakan aturan yang dipedomani.
a.       Al-Qur’an
Firman Allah QS Al-Baqarah : 180  
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf [1], (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
[1]  Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu. ayat Ini dinasakhkan dengan ayat mewaris.
QS Al-Maidah : 106
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä äoy»pky­ öNä3ÏZ÷t/ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# tûüÏm Ïp§Ï¹uqø9$# Èb$uZøO$# #ursŒ 5Aôtã öNä3ZÏiB ÷rr& Èb#tyz#uä ô`ÏB öNä.ÎŽöxî ÷bÎ) óOçFRr& ÷Läêö/uŽŸÑ Îû ÇÚöF{$# Nä3÷Gt6»|¹r'sù èpt6ŠÅÁB ÏNöqyJø9$# 4
“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu[1], jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian”.
[1]  ialah: mengambil orang lain yang tidak seagama dengan kamu sebagai saksi dibolehkan, bila tidak ada orang Islam yang akan dijadikan saksi.
b.      As-Sunnah
HR Bukhari Ibnu Majah dari Jabir Rasulullah SAW bersabda yang artinya “ barang siapa meninggal dan berwasiat maka ia mati pada jalan dan sunnah, meninggal pada jalan taqwa dan persaksian. Dan juga dalam keadaan diampuni
c.       Ijma’
Kaum muslimin sepakat bahwa wasiat merupakan syari’at Allah dan Rasul-Nya. Ijma’ denikian didasarkan pada ayat-ayat dan as-sunnah seperti dikutip diatas.
3.      Syarat dan rukun wasiat
Secara garis besar syarat-syarat wasiat adalah mengikuti rukun-rukunnya.
Rukun wasiat
a.       Orang yang berwasiat
Para ulama sepakat bahwa orang yang berwasiat adalah setiap orang yang memiliki barang manfaat secara sah dan tidak ada paksaan
b.      Orang yang menerima wasiat
Orang-orang atau badan yang menerima wasiat adalah bukan ahli waris dan secara hokum dapat dipandang sebagai cakap untuk memiliki sesuatu hak atau benda.
c.       Barang yang diwasiatkan
Barang yang menjadi obyek wasiat adalah benda-benda atau manfaat yang dapat digunakan bagi kepentingan manusia secara positif.
d.      Sigat (redaksi) wasiat
Wasiat dapat dilaksanakan menggunakan redeaksi yang jelas dengan kata wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan notaries (ps 195 (10)). Dalam pasal 203 ayat (1) ditambahkan apabila surat wasiat dalam keadaan tertutup, maka penyimpanannya ditempat lain termasuk surat0surat yang ada hubungannya.
4.      Pengertian hibah
Hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba artinya memberi. Pengertian secara istilah hibah adalah pemilikan sesuatu benda melalui transaksi (aqad) tanpa mengharap imbalan yang telah diketahui dengan jelas ketika pemberi masih hidup. Dalam rumusan kompilasi hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki (ps 171 huruf G KHI)
5.      Dasar hukum hibah
Dalam Al-Qur’an penggunaan kata hibah digunakan dalam konteks pemberian anugrah Allah kepada utusan-utusannya, namun dapat digunakan sebagai petunjuk dan anjuran secara umum agar seseorang memberikan sebagian rezekinya kepada orang lain misalnya QS Al-Baqarah : 262
tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZムöNßgs9ºuqøBr& Îû È@Î6y «!$# §NèO Ÿw tbqãèÎ7÷Gム!$tB (#qà)xÿRr& $xYtB Iwur ]Œr&   öNçl°; öNèdãô_r& yYÏã öNÎgÎn/u Ÿwur ì$öqyz óOÎgøŠn=tæ Ÿwur öNèd šcqçRtóstƒ ÇËÏËÈ
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, Kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
HR Imam Muslim Umar bin Khatab berkata “ aku telah memberikan seekor kuda lama untuk tujuan sabilillah. Kemudian pemiliknya menyianyiakannya. Aku menduga ia telah menjualnya dengan harga murah. Kemudian aku tanyakan kepada Rasulullah SAW perihal tersebut. Beliau bersabda : janganlah kamu jual itu, dan janganlah kamu tarik kembali sadaqahmu, karena orang yang menarik kembali sadaqahnya adalah ibarat anjing yang memakan kembali muntahannya.”
Hadits diatas menunjukkan bahwa seseorang yang telah menghibahkan sesuatu kepada orang lain tidak diperbolehkan pemberiannya ditarik kembali.
6.      Rukun dan syarat hibah
a.       Orang yang menghibahkan
Ø  Pemilik sah dari harta benda yang dihibahkan
Ø  Dalam keadaan sehat
Ø  Memiliki kebiasaan untuk menghibahkan bendanya
b.      Orang yang menerima hibah
Pada dasarnya setiap orang yang memiliki kecakapan melakukan perbuatan hokum dapat menerima hibah
c.       Pemberiannya
Pasal 210 (2) kompilasi menyatakan bahwa harta benda yang dapat dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah
7.      Hubungan hibah dengan warisan
Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diprhitungkan sebagai warisan (ps211). Dalam pemberian hibah tersebut dilakukan secara musyawarah dan atas persetujuan anak-anak yang ada.
D.    Kesimpulan
Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga. Wasiat akan berlaku setelah pewaris meninggal. Dasar hokum wasiat sebagaimana telah dijelaskan diatas dasar hokum berasal dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, adapun rukun dan syarat wasiat ada;lah orang yang berwasiat, orang yang menerima wasiat, barang yang diwasiatkan, dan sigat (redaksi) wasiat. Wasiat harus dibuktikan secara otentik karena wasiat merupakan tindakan hokum yang membawa implikasi adanya perpindahan hak dari satu orang ke orang yang lain. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi hal-hal yang negative yang tidak diinginkan oleh pewasiat maupun penerima asiat.
Sedang hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki, hibah yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya bias diperhitungkan sebagai warisan.
E.     Penutup
Demikian makalah yang dapat kami sampaiakan, kami selaku pemakalah hanyalah manusia biasa yang tempatnya salah dan lupa. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan guna pembenahan kedepannya. Semoga makalah ini bermanfaat.
F.      Referensi
-          Drs. Ahmad Rofiq. MA. Hukum Islam Di Indonesia. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2000
-          Drs. A. Ma’ruf Asrori. Ringkasan Fikih Islam. Al-Miftah. Surabaya. Tanpa Tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar