A.
Pendahuluan
Agama Islam menganjurkan umatnya untuk menikah dan
membentuk suatu keluarga yang bahagia dunia akhirat, salah satu tujuan menikah
adalah untuk mendapatkan keturunan setelah mendapatkan keturunan (anak) maka
pasangan suami istri tersebut dapat dikatakan sebagai keluarga.
Manusia pasti akan mati, begitu juga dalam sebuah
keluarga pasti ada yang meninggal dan ada yang ditinggalkan baik itu berupa
anggota keluarga maupun harta. Biasanya seseorang yang mau meninggal memberikan
pesan (wasiat) kepada seseorang yang dipercayadan ada pula orang yang mau
meninggal menghibahkan hartanya kepada keluarga yang ditinggalkan. Inti
keduanya adalah agar harta yang ditinggalkan tidak menjadi perselisihan antara
keluarga yang ditinggalkan.
B.
Permasalahan
1.
Apa pengertian wasiat?
2.
Apa dasar hukum wasiat?
3.
Apa saja syarat dan rukun wasiat?
4.
Apa pengertian hibah?
5.
Apa dasar hukum hibah?
6.
Apa saja syarat dan rukun hibah?
7.
Apa hubungan hibah dengan warisan?
C.
Pembahasan
1.
Pengertian wasiat
Secara bahasa wasiat artinya berpesan. Sedangkan
wasiat menurut istilah tindakan seseorang memberikan hak kepada orang lain
untuk memiliki sesuatu baik berupa benda atau manfaat secara sukarela yang
pelaksanaannya ditangguhkan setelah peristiwa kematian orang yang memberi
wasiat.
Fuqaha Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah
mendefinisikan wasiat lebih rinci yaitu : suatu transaksi yang mengharuskan si
penerima wasiat berhak menerima 1/3 harta peninggalan si pemberi setelah
meninggal, atau yang mengharuskan penggantian hak 1/3 harta si pewasiat kepada
penerima. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam wasiat adalah pemberian suatu
benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah
pewaris meninggal dunia (ps 171 huruf F KHI)
2.
Dasar hukum wasiat
Para ulama mendasarkan wasiat kepada Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’,
dalam konteks hokum Islam di Indonesia Kompilasi merupakan aturan yang
dipedomani.
a.
Al-Qur’an
Firman Allah QS Al-Baqarah : 180
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sÎ) u|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·öyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷yÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã tûüÉ)FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di
antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf [1], (Ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
[1] Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak
melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu. ayat Ini
dinasakhkan dengan ayat mewaris.
QS Al-Maidah : 106
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä äoy»pky öNä3ÏZ÷t/ #sÎ) u|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# tûüÏm Ïp§Ï¹uqø9$# Èb$uZøO$# #urs 5Aôtã öNä3ZÏiB ÷rr& Èb#tyz#uä ô`ÏB öNä.Îöxî ÷bÎ) óOçFRr& ÷Läêö/uÑ Îû ÇÚöF{$# Nä3÷Gt6»|¹r'sù èpt6ÅÁB ÏNöqyJø9$# 4
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, Maka
hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau
dua orang yang berlainan agama dengan kamu[1], jika kamu dalam perjalanan
dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian”.
[1] ialah: mengambil orang lain
yang tidak seagama dengan kamu sebagai saksi dibolehkan, bila tidak ada orang Islam
yang akan dijadikan saksi.
b.
As-Sunnah
HR Bukhari Ibnu Majah dari Jabir Rasulullah SAW bersabda yang artinya “ barang
siapa meninggal dan berwasiat maka ia mati pada jalan dan sunnah, meninggal
pada jalan taqwa dan persaksian. Dan juga dalam keadaan diampuni
c.
Ijma’
Kaum muslimin sepakat bahwa wasiat merupakan syari’at Allah dan
Rasul-Nya. Ijma’ denikian didasarkan pada ayat-ayat dan as-sunnah seperti
dikutip diatas.
3.
Syarat dan rukun wasiat
Secara garis besar syarat-syarat wasiat adalah mengikuti rukun-rukunnya.
Rukun wasiat
a.
Orang yang berwasiat
Para ulama sepakat bahwa orang yang berwasiat adalah setiap orang yang
memiliki barang manfaat secara sah dan tidak ada paksaan
b.
Orang yang menerima wasiat
Orang-orang atau badan yang menerima wasiat adalah bukan ahli waris dan
secara hokum dapat dipandang sebagai cakap untuk memiliki sesuatu hak atau
benda.
c.
Barang yang diwasiatkan
Barang yang menjadi obyek wasiat adalah benda-benda atau manfaat yang
dapat digunakan bagi kepentingan manusia secara positif.
d.
Sigat (redaksi) wasiat
Wasiat dapat dilaksanakan menggunakan redeaksi yang jelas dengan kata
wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan
notaries (ps 195 (10)). Dalam pasal 203 ayat (1) ditambahkan apabila surat
wasiat dalam keadaan tertutup, maka penyimpanannya ditempat lain termasuk
surat0surat yang ada hubungannya.
4.
Pengertian hibah
Hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba artinya memberi. Pengertian
secara istilah hibah adalah pemilikan sesuatu benda melalui transaksi (aqad)
tanpa mengharap imbalan yang telah diketahui dengan jelas ketika pemberi masih
hidup. Dalam rumusan kompilasi hibah adalah pemberian suatu benda secara
sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup
untuk dimiliki (ps 171 huruf G KHI)
5.
Dasar hukum hibah
Dalam Al-Qur’an penggunaan kata hibah digunakan dalam konteks pemberian
anugrah Allah kepada utusan-utusannya, namun dapat digunakan sebagai petunjuk
dan anjuran secara umum agar seseorang memberikan sebagian rezekinya kepada
orang lain misalnya QS Al-Baqarah : 262
tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZã öNßgs9ºuqøBr& Îû È@Î6y «!$# §NèO w tbqãèÎ7÷Gã !$tB (#qà)xÿRr& $xYtB Iwur ]r& öNçl°; öNèdãô_r& yYÏã öNÎgÎn/u wur ì$öqyz óOÎgøn=tæ wur öNèd cqçRtóst ÇËÏËÈ
“Orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah, Kemudian mereka tidak mengiringi apa yang
dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak
menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan
mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati.”
HR Imam Muslim Umar bin Khatab berkata “ aku telah memberikan seekor kuda
lama untuk tujuan sabilillah. Kemudian pemiliknya menyianyiakannya. Aku menduga
ia telah menjualnya dengan harga murah. Kemudian aku tanyakan kepada Rasulullah
SAW perihal tersebut. Beliau bersabda : janganlah kamu jual itu, dan janganlah
kamu tarik kembali sadaqahmu, karena orang yang menarik kembali sadaqahnya
adalah ibarat anjing yang memakan kembali muntahannya.”
Hadits diatas menunjukkan bahwa seseorang yang telah menghibahkan sesuatu
kepada orang lain tidak diperbolehkan pemberiannya ditarik kembali.
6.
Rukun dan syarat hibah
a.
Orang yang menghibahkan
Ø
Pemilik sah dari harta
benda yang dihibahkan
Ø
Dalam keadaan sehat
Ø
Memiliki kebiasaan untuk
menghibahkan bendanya
b.
Orang yang menerima hibah
Pada dasarnya setiap orang yang memiliki kecakapan melakukan perbuatan
hokum dapat menerima hibah
c.
Pemberiannya
Pasal 210 (2) kompilasi menyatakan bahwa harta benda yang dapat
dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah
7.
Hubungan hibah dengan warisan
Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diprhitungkan sebagai warisan
(ps211). Dalam pemberian hibah tersebut dilakukan secara musyawarah dan atas
persetujuan anak-anak yang ada.
D.
Kesimpulan
Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris
kepada orang lain atau lembaga. Wasiat akan berlaku setelah pewaris meninggal.
Dasar hokum wasiat sebagaimana telah dijelaskan diatas dasar hokum berasal dari
Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, adapun rukun dan syarat wasiat ada;lah orang yang
berwasiat, orang yang menerima wasiat, barang yang diwasiatkan, dan sigat
(redaksi) wasiat. Wasiat harus dibuktikan secara otentik karena wasiat
merupakan tindakan hokum yang membawa implikasi adanya perpindahan hak dari
satu orang ke orang yang lain. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi hal-hal
yang negative yang tidak diinginkan oleh pewasiat maupun penerima asiat.
Sedang hibah adalah pemberian suatu benda secara
sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup
untuk dimiliki, hibah yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya bias
diperhitungkan sebagai warisan.
E.
Penutup
Demikian makalah yang dapat kami sampaiakan, kami selaku pemakalah
hanyalah manusia biasa yang tempatnya salah dan lupa. Oleh karena itu saran dan
kritik yang membangun sangat kami harapkan guna pembenahan kedepannya. Semoga
makalah ini bermanfaat.
F.
Referensi
-
Drs. Ahmad Rofiq. MA. Hukum Islam
Di Indonesia. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2000
-
Drs. A. Ma’ruf Asrori. Ringkasan
Fikih Islam. Al-Miftah. Surabaya. Tanpa Tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar