BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Akhlak tasawuf adalah
merupakan salah satu hasanah intelektual muslim yang kehadirannya hingga saat
ini semakin dirasakan. secara historis dan teologi akhlak tasawuf tampil
mengawal dan memandu perjalanan hidup umat agar selamat dunia dan akhirat.
tidaklah berlebihan jika misi utama kerasulan Muhammad saw. adalah untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia, dan sejarah mencatat bahwa factor pendukung
keberhasilan dakwah beliau itu antara lain karena dukungan akhlaknya yang
prima, hingga hal ini dinyatakan oleh Allah di dalam Alqur’an.
Kepada umat manusia, khususnya yang beriman kepada Allah diminta
agar akhlak dan keluhuran budi Nabi Muhammad saw. itu dijadikan contoh dalam
kehidupan diberbagai bidang. mereka yang mematuhi permintaan itu, dijamin
keselamatan hidupnya di dunia dan akhirat.
Khasanah [emikiran dan pandangan di bidang akhlak dan tasawuf itu
kemudian menemukan momentum pengambangannya dalam sejarah, yang antara lain
ditandai oleh munculnya sejumlah ulama besar tasawuf dan ulama di bidang
akhlak. Mereka tampil pada mulanya untuk member koreksi pada perjalanan umat
saat itu yang sudah mulai miring kea rah yang salah. Mereka mencoba meneruskan,
dan ternyata upaya mereka disambut positif, karena dirasakan manfaatnya.
B.
Rumusan
Masaalah
Siapa
sajakah tokoh-tokoh tasawuf akhlaki dan apasaja ajaran tasawufnya?
1.
BAB
II
PEMBAHASAN
Tokoh-tokoh Tasawuf Akhlaqi dan ajaran Tasawufnya.
A.
Hasan
Al-Bashri
1.
Riwayat
Hidup
Hasan
Al-Bashri yang nama lengkapnya adalah Abu Said Al-Hasan bin Yasar adalah
seorang zahid yang sangat masyhur dikalangan atabi’in. ia dilahirkan di Madinah
pada tahun 21 H (623 M) dia wafat pada hari kamis, 10 Rajab 110 H (728 M).
belia dilahirkan dua malam sebelum khlaifah Umar bin Khatab wafat.
Hasan
Al-Bashri adalah ulama’ yang mula-mula menyediakan waktunya untuk
memperbincangkan ilmu-ilmu kebathinan, kemurnian akhlak, dan usaha mensucikan
jiwa di masjid BAshrah. Ajaran-ajarannya tentang kerohanian senantiasa
didasarkan pada sunnah Nabi. Karir kependidikan Hasan Al-BAshir dimulai dari
Hijaz. Ia berguru hamper kepada seluruh ulama disana. Bersama ayahnya, beliau kemudian pindah ke
Bashrah, tempat yang membuatnya masyhur dengan nama Hasan Al-Bashri. Puncak ke
ilmuannya diperoleh disana.
Hasan Al-Bashri terkenal dengan keilmuannya
yang sangat dalam. Tak heran kalau ia menjadi imam di Bashrah, dan
daerah-daerah lainnya. Di samping dikenal sebagai zahid, ia pun dikenal sebagai
seorang yang wara’ dan berani dalam memperjuangkan kebenaran. Diantaranya karya
tulisnya, ada yang berisi kecaman terhadap aliran kalam Qadariyah dan
tafsir-tafsir Al-Qur’an.[1]
2.
Ajaran-Ajaran
Tasawufnya
Abu Na’im Al-‘Asyabani
menyimpulokan pandangan tasawuf Hasan al-Bashri sebagai berikut:
“takut (khouf)
dan pengharapan (raja’) tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan. tidak
pernah tidur, senang karena mengingat Allah.”
Pandangan
tasawufnya yang ,lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa
bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah
dan menjauhi seluruh larangannya. Lebih jauh Hamka mengemukakan sebagian ajaran
Hasan al-Bashri seperti ini:
a.
“Perasaan
takutmu sehingga bertemu dengan hati tentram, lebih baik dari pada perasaan
tentrammu yang kemudiannya menimbulkan takut.”
b.
“DUnia
ialah negeri tempat beramal. Barang siapa yang bertemu dengan dunia dengan rasa
benci kepadanya dan suhud, akan berbahagialah dia dan beroleh faedah dalam
persahabatan itu. Tetapi barang siapa yang tinggal dalam dunia, lalu hatinya
rindu dan perasaan tersangkut kepadanya, akhirnya dia akan sengsara. Dia akan
terbawa kepada suatu masa yang tidak dapat dideritanya.”
c.
Perasaan
tentang tafakkur. “Tafakkur membawa kita kepada kebaikan dan berusaha
mengarjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat, membawa kep-ada
meninggalkannnya. Barang yang fana walaupun bagaimana banyaknya, tidaklah dapat
menyamai barang yang baqa’. Walaupun sedikit, awasilah dirimu dari negeri yang
cepat datang dan cepat pergi ini, dan penuh dengan tipuan.
d.
Dunia
ini laksana seorang perempuan janda tua yang telah bungkuk, dan telah banyak
kematian laki.
e.
Orang
yang beriman berduka cita pagi dan berduka cita diwaktu sore karena dia hidup
diantara dua ketakutan.”
f.
Tentang
duka cita, beliau berkata: “patutlah orang insaf bahwa mati sedang
mengancamnya. dan kiamat menagih janjinya, dan dia mesti berdiri di hadapan
Allah akan dihitung.”
g.
Banyak
duka cita di dunia memperteguh semangat amal sholeh.[2]
Berkaitan dengan ajaran tasawuf hasan al-bashri, Muhammad Mustafa,
guru besar filsafat islam menyatakan kemungkinan bahwa hasan al-bashri didasari
oleh rasa takut siksa tuhan di dalam neraka. namun lanjtannya setelah kami
teliti, ternyata bukan perasaan takut terhadap siksaannya yang mendasari
tasawufnya, tetapi kebesaran jiwanya akan berkurang dan kelalaian dirinya
mendasari tasawufnya itu. sikapnya itu senada dengan sabda nabi yang berbunyi:
“orang yang beriman yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya
adalah laksana orang duduk di bawah sebuah gunung besar yang senantiasa takut
gunung itu akan menimpa dirinya.
B.
Al-Muhasibi
1.
Riwayat
Hidup
al-muhasibi (w. 243 H/ 875 M) dilahirkan di basrah dan mengabiskan
sebagain besar usianya di Baghdad, nama lengkapnya adalah abu Abdullah
al-harist at-muhasibi. ia mengambangkan psiokologi moral yang paling ketat dan
paling berpengaruh di tradisi tasawuf. psikologi al-muhasibi bias ditemukan
dalam karya-karya abu tholib al-makki, yang mempengaruhi pemikiran abu hamdi
al-ghozali. hingga saat ini karya utama dari al-muhasibi adalah kitab
al-ar’ayat lilhukukillah yang mendalami berbagai bentuk idealisime tentang
berbagai bentuk egeolisme.[3]
2.
Pandangan
Tasawuf Al-Muhasibi
al-harist bin asad al-muhasibi menempuh jalan tasawuf karena hendak
keluar dari keraguan yang dihadapinya. tatkala mengambil madzhab-madzhab yang
dianut umat islam, al-muhasibi menemukan kelompok di dalamnya. di antara
mereka, ada sekelompok orang yang tahu benar tentang keakhiratan. namun jumlah
meerka sangat sedikit. sebagain besar dari mereka adalah ornag-orang yang
mencari ilmu karena kesombongan dan motivasi keduniaan.
al-muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh
melalui ketaqwaan kepada allah, melaksanakan kewajiban-kewajiban, wara’ dan
meneladani Rasulullah. menurut al-muhasibi, tatkala sudah melaksanakan hal-hal
di atas, maka seseorang akan diberi petunjuk oleh Allah berupa penyatuan antara
fiqh dan tasawuf.Ia akan meneladani rasulullah dan lebih mementingkan akhirat
daripada dunia.
3.
Pandangan
Al-Muhasibi tentang Ma’rifat
Al-muhasibi mengatakan,ma’rifat harus ditempuh melalui jalan
tasawuf yang berdasar pada kitab dan sunah.
Al-muhasibi menjelaskan tahapan – tahapan maa’rifat sebagai berikut
:
a.
Taat,
yaitu, wujud konkret ketaatan hamba kepada Allah.
b.
Aktivitas
anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati
c.
manusia
akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini di simpan Allah
d.
Apa
yang dikatakan oleh sementara sufi dengan fana yang menyebabkan baka’
4.
Pandangan
Al-Muhasibi tentang Khauf dan Raja’
khauf dan raja’, menurut Al-Muhasibi, dapat dilakukan dengan
sempurna, bila berpegang pada Al-Qur’an dan Assunah. dalam hal ini, ia
mengaitkan kedua sifat itu dengan ibadah dan janji serta ancaman Allah.
Al-Muhasibi lebih lanjut mengatakan bahwa Al-Qur’an jelas berbicara tentang
pembalasan (pahala) dan siksaan. Al-Qur’an jelas pula berbicara tentang surga
dan Negara.
ia
kemudian mengutip ayat-ayat berikut :
¨bÎ) tûüÉ)GßJø9$# Îû ;M»¨Zy_ Abqãããur ÇÊÎÈ
tûïÉÏ{#uä !$tB
öNßg9s?#uä öNåk5u
4
öNåk¨XÎ) (#qçR%x.
@ö6s% y7Ï9ºs tûüÏYÅ¡øtèC ÇÊÏÈ
(#qçR%x. WxÎ=s% z`ÏiB È@ø©9$#
$tB
tbqãèyföku
ÇÊÐÈ
Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada dalam
taman-taman (syurga) dan dimata air-mata air,Sambil mengambil apa-apa yang
dierikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di
dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. mereka sedikit sekali tidur
diwaktu malam, dan diakhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).”
(QS. Adz-Dzariyat 15-17).[4]
C.
Al-Qusyairi
1.
Riwayat
Hidup
Naman lengkap Al-Qusyairi adalah Abdul karim ibnu Hawazin
Al-Qusyairi. lahir pada tahun 376 H di IStiwa, kawasan Nishafur yang merupakan
salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Al-Qusyairi meninggal pada 16
Rabi’ul Akhir 465 H. Ia terkenal karena menulis sebuah risalah mengenai ilmu
tasawuf, yang biasa disebut orang “Risalah Qusyairiyah” yang tebalnya hampir
200 halaman. Sebuah syarahnya, yang merupakan uraian dan keterangan yang lebih
lanjut tentang risalah itu ditulis oleh Syaikhul Islam Zakaria Al-Anshari,
dengan nama “Ihsanul Dilalah fi syarah risalah”
Qusyairi menguraikan dalam kitabnya itu persoalan-persoalan
mengenai I’tikad sufi, terutama dalam membahas pokok-pokok keyakinan tauhid
dalam Islam. Dalam karangannya itu, dimuat juga tidak kurang dari 80 nama
guru-guru sufi yang terkenal dan berijazah. Dalam ia mengupas istilah-istilah
sufi, banyak ia berbicara tentang kesukaran-kesukaran yang dihadapi
murid-murid, seprti mengenai waktu riyadhah, mengenai makan, mengenai ihwal,
wujud dan wujudan dan lain-lainya. Dengan panjang lebar diuraikannya tentang
pengertian mujahadah, khalwat, wzlah, muraqabah, sabar, syukur, khauf, raja,
dan sifat-sifat lain yang diperlukan keterangannya agak mendalam oleh
orang-orang suluk.[5]
2.
Ajaran-Ajaran
Tasawufnya
Jika dikaji secara mendalam, karya al-Qusyairi yaitu risalah
al-qusyairiyyah, akan tampak jelas bagaimana al-qusyairi cenderung
mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin ahlusunnas, sebagaimana
perkataannya:
“ketahuilah! para tokoh aliran ini (maksudnya pra sufi) membina
prinsip-prinsip tasawuf atas landasan tauhid yang benar. Sehingga doktrin
mereka terpelihara dari penyimpangan. Selain itu, mereka lebih dekat dengan
tauhid kaum salaf maupun ahlusunnah, yang tak tertandingi dan mengenal macet.”
Selain itu, al-qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya
yang gemar mempergunakan pakaian orang-orang miskin, sedangkan tindakan mereka
bertentangan dengan pakaian mereka. ia menekankan bahwa kesehatan bathin,
dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, lebih penting dibandingkan
pakaian lahirriyah.
karena itu pula, Al-Qusyairi menyatakan bahwa ia menulis risalahnya
karena dorongan perasaan sedihnya ketika ia melihat hal-hal yang menimpa jalan
tasawuf. ia tidak bermaksud menjelek-jelekkan salah seorang dari kelompok
tersebu, dengan mendasarkan diri dengan penyimpangan sebagian penyerunya.
Risalahnya itu menurutnya, hanay sekedar “pengobat keluhan” atas apa yang
menimpa tasawuf pada masanya. dari uraian ini, tampak jelas bahwa pengembalian
arah tasawuf, menurut Al-Qusyairi, dapat dilakukan dengan merujuknya pada
doktrin ahlus sunnah wal-jama’ah, yaitu dengan mengikuti para sufi sunni abad
ketiga dan keempat Hijriyah sebagaimana di riwayatkan dalam Ar-Risalah.
D.
Al-Ghazali
1.
Riwayat
Hidup
nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad
Al-Ghazali. dia dilahirkan di Desa Ghuzala daerah Thus. salah satu kota di
Kusaran, Persia pada tahun 450 H/1085 M. sejak kecil hingga dewasa, orang
tuanya memberi nama padanya Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali.
kemudian setelah menikah dan dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama
hamid, maka beliau dipanggil dengan panggilan akrab abu Hamid (bapak si Hamid)
sampai dengan usia dua puluh tahun, Al-Ghazali tetpa tinggal dan belajar
dikota kelahirannya, Thus. dia belajar ilmu fiqih secara mendalam dari Ahmad
bin Muhammad Al-Razkani. kecuali itu, dia belajar ilmu tasawuf dari Yusuf
Al-Nassaj, seorang sufi yang terkenal pada masa itu. kedua ilmu itu sangat
terkesan di hati Al-Ghazali dan ia bertekad untuk lebih mendalami lagi di
kota-kota lain. pada tahun 470 H, Al-Ghazali pindah kekota Jurjan, ia tidak
lagi hanya mendapat pelajaran tantang dasar-dasar agama Islam sebagaimana yang
diterima di kota Thus, tetapia ia mendalami pula pelajaran bahasa Arab dan
bahasa Persi.
pada tahun 471 H Al-Ghazali berangkat menuju Naisabur, karena
tertarik dengan Perguruan Tinggi Nizamiyah, disini dia bertemu dan belajar
dengan seorang ulama besar, Abu Al-Ma’ali Dhiya’u al-Din al-Juwaini yang lebih
dikenal dengan Imam Al-Haramain, sebagai pimpinan perguruan tinggi tersebut.
kepada ulama besar ini, al-Ghazali belajar langsung sebagai mahasiswa dalam
berbagai ilmu pengetahuan, seperti ilmu kalam, Fiqih, Usul Fiqih, Retorika,
Mantik, serta mendalami Filasafat.
secara keseluruhan, kehidupan dan praktek kesufian yang dijalani
Al-Ghazali lewat pengembaraannya, kurang lebih selam sepuluh tahun.
dalam menghabiskan sisa umurnya al-Ghazali mendirikan khanaqah atau
sejenis pondok bagi para sufi dan madrasah bagi para penuntut ilmu. beliau pun
menghabiskan hari-harinya untuk berbuat kebajikan seperti menghatamkan
al-Qur’an, bertemu dengan para sufi dan mengajar murid-muridnya. kurang lebih
setelah masa lima tahun sepulang Al-Ghazali dari pengembaraan sufinya, maka pada
hari Senin, tgl 14 Jumadil Akhir 505 H, Hujjah al-Islam Imam Al-Ghazali
menghadap kehadirat Allah di pangkuan adiknya, Ahmad Al-Ghazali.[6]
2.
Ajaran-Ajaran
Tasawufnya
Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih Tasawuf Sunni yang
berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlussunah
Wal-Jama’ah. dari faham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecenderungan
eghotis yang mempengaruhi para filosof Islam, Sekte Ismailiyah, aliran syi’ah,
ikhwan As-Shoffa, dan lain-lain.
Menurut Al-Ghazali jalan menuju tasawuf dapat dicapai dengan cara
mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang
tercela, sehingga kalbu lepas dari segala sesuatu selain Allah dan selalu
mengingat Allah. Al-Ghazali menilai negative terhadap Syathahat. ia menganggap
bahwa syathahat mempunyai dua kelemahan. pertama, kurang memperhatikan amal
lahiriyah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami, mengemukakan kesatuan
dengan tuhan, dan menyatakan bahwa Allah dapat disaksikan. kedua, Syathahat
merupakan hasil pemikiran yang kacau dan hasil imajinasi sendiri.
Al-Ghazali
sangat menolak paham hulul dan Itihad. untuk itu, ia menyodorkan paham baru
tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (Taqarub il Allah) tanpa
diikuti penyatuan dengan-Nya. Ma’rifat menurut versi Al-Ghazali, diawali dalam
bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh fase-fase pencapaian
rohani dalam tingkatan-tingkatan (makamat) dan keadaan (ahwal). oleh karena
itu, Al-Ghazalli mempunyai jasa besar dalam dunia Islam. dialah yang mampu
memadukan antara ketiga kubu keilmuan Islam, yakni, Tasawuf, Fiqih, dan Ilmu
Kalam, yang sebelumnya banyak menimbulkan terjadinya ketegangan.
BAB
III
KESIMPULAN
Tokoh-tokoh Tasawuf Akhlaqi dan ajaran Tasawufnya.
1.
Hasan
Al-Bashri
nama lengkapnya adalah Abu Said Al-Hasan bin Yasar adalah seorang
zahid yang sangat masyhur dikalangan atabi’in. ia dilahirkan di Madinah pada
tahun 21 H (623 M) dia wafat pada hari kamis, 10 Rajab 110 H (728 M).
Ajaran Tasawuf Hasan Al-Bishri, Antara lain adalah sebagai berikut
:
a.
“Perasaan
takutmu sehingga bertemu dengan hati tentram, lebih baik dari pada perasaan
tentrammu yang kemudiannya menimbulkan takut.”
b.
“DUnia
ialah negeri tempat beramal. Barang siapa yang bertemu dengan dunia dengan rasa
benci kepadanya dan suhud, akan berbahagialah dia dan beroleh faedah dalam
persahabatan itu. Tetapi barang siapa yang tinggal dalam dunia, lalu hatinya
rindu dan perasaan tersangkut kepadanya, akhirnya dia akan sengsara. Dia akan
terbawa kepada suatu masa yang tidak dapat dideritanya.”
c.
Perasaan
tentang tafakkur. “Tafakkur membawa kita kepada kebaikan dan berusaha
mengarjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat, membawa kep-ada
meninggalkannnya. Barang yang fana walaupun bagaimana banyaknya, tidaklah dapat
menyamai barang yang baqa’. Walaupun sedikit, awasilah dirimu dari negeri yang
cepat datang dan cepat pergi ini, dan penuh dengan tipuan.
d.
Dunia
ini laksana seorang perempuan janda tua yang telah bungkuk, dan telah banyak
kematian laki.
e.
Orang
yang beriman berduka cita pagi dan berduka cita diwaktu sore karena dia hidup
diantara dua ketakutan.”
f.
Tentang
duka cita, beliau berkata: “patutlah orang insaf bahwa mati sedang
mengancamnya. dan kiamat menagih janjinya, dan dia mesti berdiri di hadapan
Allah akan dihitung.”
g.
Banyak
duka cita di dunia memperteguh semangat amal sholeh.
2.
Al-Muhasibi
Al-muhasibi (w. 243 H/ 875 M) dilahirkan di basrah dan mengabiskan
sebagain besar usianya di Baghdad, nama lengkapnya adalah abu Abdullah
al-harist at-muhasibi.
Al-muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh
melalui ketaqwaan kepada allah, melaksanakan kewajiban-kewajiban, wara’ dan
meneladani Rasulullah.
3.
Al-Qusyairi
Naman lengkap Al-Qusyairi adalah Abdul karim ibnu Hawazin Al-Qusyairi.
lahir pada tahun 376 H di Istiwa, kawasan Nishafur. Al-Qusyairi meninggal pada
16 Rabi’ul Akhir 465 H
4.
Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad
Al-Ghazali. dia dilahirkan di Desa Ghuzala daerah Thus.
dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih Tasawuf Sunni yang berdasarkan
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlussunah Wal-Jama’ah. dari
faham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecenderungan eghotis yang
mempengaruhi para filosof Islam, Sekte Ismailiyah, aliran syi’ah, ikhwan
As-Shoffa, dan lain-lain.
BAB
IV
PENUTUP
Demikianlah
makalah yang dapat kami sampaikan. Kritik dan Saran konstruksi sangat kami
harapkan dari pengampu, serta dari rekan-rekan, guna perbaikan dan sempurnanya
makalah yang akan datang.
Semoga
makalah ini bermanfaat dan dapat menambah khasanah pengetahuan, manfaat untuk
kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
-
Prof. Dr. Hamka, Tasawuf
Perkembangan dan Pemikirannya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
-
Prof. Dr. H. Abu Bakar Aceh, Pengantar
Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo: Ramadhani, 1994.
-
Prof. Dr. Amin Syukur, MA, Drs.
Masharudin. Intelektualisme Tasawuw Studi Intelektualisme Tasawuf al-Ghazali.
Semarang: Pustaka Pelajar, 2002.
-
http://sejarah-bekentomoninte.blogspot.com
[1]
http://jutysyawaladi.blogspot.com/2010/01/tokoh-tokoh.tasawuf.akhlaqi.html
[2]
Prof. Dr. Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemikirannya, Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1983, hlm. 71-72.
[3]
http://sejarah-bekentomoninte.blogspot.com
[4]
http://julysyawaladi.blogspot.com
[5] Prof. Dr. H.
Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo: Ramadhani,
1994. hal. 274-275.
[6] Prof. Dr. Amin
Syukur, MA, Drs. Masharudin. Intelektualisme Tasawuw Studi Intelektualisme
Tasawuf al-Ghazali. Semarang: Pustaka Pelajar, 2002. hal. 126
Tidak ada komentar:
Posting Komentar