Kamis, 14 Februari 2013

TOKOH tasawuf dan ajarannya


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
       Akhlak tasawuf adalah merupakan salah satu hasanah intelektual muslim yang kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan. secara historis dan teologi akhlak tasawuf tampil mengawal dan memandu perjalanan hidup umat agar selamat dunia dan akhirat. tidaklah berlebihan jika misi utama kerasulan Muhammad saw. adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, dan sejarah mencatat bahwa factor pendukung keberhasilan dakwah beliau itu antara lain karena dukungan akhlaknya yang prima, hingga hal ini dinyatakan oleh Allah di dalam Alqur’an.
Kepada umat manusia, khususnya yang beriman kepada Allah diminta agar akhlak dan keluhuran budi Nabi Muhammad saw. itu dijadikan contoh dalam kehidupan diberbagai bidang. mereka yang mematuhi permintaan itu, dijamin keselamatan hidupnya di dunia dan akhirat.
Khasanah [emikiran dan pandangan di bidang akhlak dan tasawuf itu kemudian menemukan momentum pengambangannya dalam sejarah, yang antara lain ditandai oleh munculnya sejumlah ulama besar tasawuf dan ulama di bidang akhlak. Mereka tampil pada mulanya untuk member koreksi pada perjalanan umat saat itu yang sudah mulai miring kea rah yang salah. Mereka mencoba meneruskan, dan ternyata upaya mereka disambut positif, karena dirasakan manfaatnya.
B.     Rumusan Masaalah
Siapa sajakah tokoh-tokoh tasawuf akhlaki dan apasaja ajaran tasawufnya?

1.       
BAB II
PEMBAHASAN

Tokoh-tokoh  Tasawuf Akhlaqi dan ajaran Tasawufnya.
A.      Hasan Al-Bashri
1.      Riwayat Hidup
Hasan Al-Bashri yang nama lengkapnya adalah Abu Said Al-Hasan bin Yasar adalah seorang zahid yang sangat masyhur dikalangan atabi’in. ia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H (623 M) dia wafat pada hari kamis, 10 Rajab 110 H (728 M). belia dilahirkan dua malam sebelum khlaifah Umar bin Khatab wafat.
Hasan Al-Bashri adalah ulama’ yang mula-mula menyediakan waktunya untuk memperbincangkan ilmu-ilmu kebathinan, kemurnian akhlak, dan usaha mensucikan jiwa di masjid BAshrah. Ajaran-ajarannya tentang kerohanian senantiasa didasarkan pada sunnah Nabi. Karir kependidikan Hasan Al-BAshir dimulai dari Hijaz. Ia berguru hamper kepada seluruh ulama disana.  Bersama ayahnya, beliau kemudian pindah ke Bashrah, tempat yang membuatnya masyhur dengan nama Hasan Al-Bashri. Puncak ke ilmuannya diperoleh disana.
 Hasan Al-Bashri terkenal dengan keilmuannya yang sangat dalam. Tak heran kalau ia menjadi imam di Bashrah, dan daerah-daerah lainnya. Di samping dikenal sebagai zahid, ia pun dikenal sebagai seorang yang wara’ dan berani dalam memperjuangkan kebenaran. Diantaranya karya tulisnya, ada yang berisi kecaman terhadap aliran kalam Qadariyah dan tafsir-tafsir Al-Qur’an.[1]
2.      Ajaran-Ajaran Tasawufnya
Abu Na’im Al-‘Asyabani menyimpulokan pandangan tasawuf Hasan al-Bashri sebagai berikut:
“takut (khouf) dan pengharapan (raja’) tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan. tidak pernah tidur, senang karena mengingat Allah.”
Pandangan tasawufnya yang ,lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangannya. Lebih jauh Hamka mengemukakan sebagian ajaran Hasan al-Bashri seperti ini:
a.       “Perasaan takutmu sehingga bertemu dengan hati tentram, lebih baik dari pada perasaan tentrammu yang kemudiannya menimbulkan takut.”
b.      “DUnia ialah negeri tempat beramal. Barang siapa yang bertemu dengan dunia dengan rasa benci kepadanya dan suhud, akan berbahagialah dia dan beroleh faedah dalam persahabatan itu. Tetapi barang siapa yang tinggal dalam dunia, lalu hatinya rindu dan perasaan tersangkut kepadanya, akhirnya dia akan sengsara. Dia akan terbawa kepada suatu masa yang tidak dapat dideritanya.”
c.       Perasaan tentang tafakkur. “Tafakkur membawa kita kepada kebaikan dan berusaha mengarjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat, membawa kep-ada meninggalkannnya. Barang yang fana walaupun bagaimana banyaknya, tidaklah dapat menyamai barang yang baqa’. Walaupun sedikit, awasilah dirimu dari negeri yang cepat datang dan cepat pergi ini, dan penuh dengan tipuan.
d.      Dunia ini laksana seorang perempuan janda tua yang telah bungkuk, dan telah banyak kematian laki.
e.       Orang yang beriman berduka cita pagi dan berduka cita diwaktu sore karena dia hidup diantara dua ketakutan.”
f.       Tentang duka cita, beliau berkata: “patutlah orang insaf bahwa mati sedang mengancamnya. dan kiamat menagih janjinya, dan dia mesti berdiri di hadapan Allah akan dihitung.”
g.      Banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal sholeh.[2]
Berkaitan dengan ajaran tasawuf hasan al-bashri, Muhammad Mustafa, guru besar filsafat islam menyatakan kemungkinan bahwa hasan al-bashri didasari oleh rasa takut siksa tuhan di dalam neraka. namun lanjtannya setelah kami teliti, ternyata bukan perasaan takut terhadap siksaannya yang mendasari tasawufnya, tetapi kebesaran jiwanya akan berkurang dan kelalaian dirinya mendasari tasawufnya itu. sikapnya itu senada dengan sabda nabi yang berbunyi: “orang yang beriman yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya adalah laksana orang duduk di bawah sebuah gunung besar yang senantiasa takut gunung itu akan menimpa dirinya.
B.       Al-Muhasibi
1.    Riwayat Hidup
al-muhasibi (w. 243 H/ 875 M) dilahirkan di basrah dan mengabiskan sebagain besar usianya di Baghdad, nama lengkapnya adalah abu Abdullah al-harist at-muhasibi. ia mengambangkan psiokologi moral yang paling ketat dan paling berpengaruh di tradisi tasawuf. psikologi al-muhasibi bias ditemukan dalam karya-karya abu tholib al-makki, yang mempengaruhi pemikiran abu hamdi al-ghozali. hingga saat ini karya utama dari al-muhasibi adalah kitab al-ar’ayat lilhukukillah yang mendalami berbagai bentuk idealisime tentang berbagai bentuk egeolisme.[3]
2.    Pandangan Tasawuf Al-Muhasibi
al-harist bin asad al-muhasibi menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari keraguan yang dihadapinya. tatkala mengambil madzhab-madzhab yang dianut umat islam, al-muhasibi menemukan kelompok di dalamnya. di antara mereka, ada sekelompok orang yang tahu benar tentang keakhiratan. namun jumlah meerka sangat sedikit. sebagain besar dari mereka adalah ornag-orang yang mencari ilmu karena kesombongan dan motivasi keduniaan.
al-muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketaqwaan kepada allah, melaksanakan kewajiban-kewajiban, wara’ dan meneladani Rasulullah. menurut al-muhasibi, tatkala sudah melaksanakan hal-hal di atas, maka seseorang akan diberi petunjuk oleh Allah berupa penyatuan antara fiqh dan tasawuf.Ia akan meneladani rasulullah dan lebih mementingkan akhirat daripada dunia.
3.    Pandangan Al-Muhasibi tentang Ma’rifat
Al-muhasibi mengatakan,ma’rifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang berdasar pada kitab dan sunah.
Al-muhasibi menjelaskan tahapan – tahapan maa’rifat sebagai berikut :
a.       Taat, yaitu, wujud konkret ketaatan hamba kepada Allah.
b.      Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati
c.       manusia akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini di simpan Allah
d.      Apa yang dikatakan oleh sementara sufi dengan fana yang menyebabkan baka’
4.    Pandangan Al-Muhasibi tentang Khauf dan Raja’
khauf dan raja’, menurut Al-Muhasibi, dapat dilakukan dengan sempurna, bila berpegang pada Al-Qur’an dan Assunah. dalam hal ini, ia mengaitkan kedua sifat itu dengan ibadah dan janji serta ancaman Allah. Al-Muhasibi lebih lanjut mengatakan bahwa Al-Qur’an jelas berbicara tentang pembalasan (pahala) dan siksaan. Al-Qur’an jelas pula berbicara tentang surga dan Negara.
ia kemudian mengutip ayat-ayat berikut :
 ¨bÎ) tûüÉ)­GßJø9$# Îû ;M»¨Zy_ Abqãããur ÇÊÎÈ tûïÉÏ{#uä !$tB öNßg9s?#uä öNåk5u 4 öNåk¨XÎ) (#qçR%x. Ÿ@ö6s% y7Ï9ºsŒ tûüÏYÅ¡øtèC ÇÊÏÈ (#qçR%x. WxÎ=s% z`ÏiB È@ø©9$# $tB tbqãèyföku ÇÊÐÈ
Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada dalam taman-taman (syurga) dan dimata air-mata air,Sambil mengambil apa-apa yang dierikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam, dan diakhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (QS. Adz-Dzariyat 15-17).[4]
C.       Al-Qusyairi
1.      Riwayat Hidup
Naman lengkap Al-Qusyairi adalah Abdul karim ibnu Hawazin Al-Qusyairi. lahir pada tahun 376 H di IStiwa, kawasan Nishafur yang merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Al-Qusyairi meninggal pada 16 Rabi’ul Akhir 465 H. Ia terkenal karena menulis sebuah risalah mengenai ilmu tasawuf, yang biasa disebut orang “Risalah Qusyairiyah” yang tebalnya hampir 200 halaman. Sebuah syarahnya, yang merupakan uraian dan keterangan yang lebih lanjut tentang risalah itu ditulis oleh Syaikhul Islam Zakaria Al-Anshari, dengan nama “Ihsanul Dilalah fi syarah risalah”
Qusyairi menguraikan dalam kitabnya itu persoalan-persoalan mengenai I’tikad sufi, terutama dalam membahas pokok-pokok keyakinan tauhid dalam Islam. Dalam karangannya itu, dimuat juga tidak kurang dari 80 nama guru-guru sufi yang terkenal dan berijazah. Dalam ia mengupas istilah-istilah sufi, banyak ia berbicara tentang kesukaran-kesukaran yang dihadapi murid-murid, seprti mengenai waktu riyadhah, mengenai makan, mengenai ihwal, wujud dan wujudan dan lain-lainya. Dengan panjang lebar diuraikannya tentang pengertian mujahadah, khalwat, wzlah, muraqabah, sabar, syukur, khauf, raja, dan sifat-sifat lain yang diperlukan keterangannya agak mendalam oleh orang-orang suluk.[5]
2.      Ajaran-Ajaran Tasawufnya
Jika dikaji secara mendalam, karya al-Qusyairi yaitu risalah al-qusyairiyyah, akan tampak jelas bagaimana al-qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin ahlusunnas, sebagaimana perkataannya:
“ketahuilah! para tokoh aliran ini (maksudnya pra sufi) membina prinsip-prinsip tasawuf atas landasan tauhid yang benar. Sehingga doktrin mereka terpelihara dari penyimpangan. Selain itu, mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun ahlusunnah, yang tak tertandingi dan mengenal macet.”
Selain itu, al-qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya yang gemar mempergunakan pakaian orang-orang miskin, sedangkan tindakan mereka bertentangan dengan pakaian mereka. ia menekankan bahwa kesehatan bathin, dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, lebih penting dibandingkan pakaian lahirriyah.
karena itu pula, Al-Qusyairi menyatakan bahwa ia menulis risalahnya karena dorongan perasaan sedihnya ketika ia melihat hal-hal yang menimpa jalan tasawuf. ia tidak bermaksud menjelek-jelekkan salah seorang dari kelompok tersebu, dengan mendasarkan diri dengan penyimpangan sebagian penyerunya. Risalahnya itu menurutnya, hanay sekedar “pengobat keluhan” atas apa yang menimpa tasawuf pada masanya. dari uraian ini, tampak jelas bahwa pengembalian arah tasawuf, menurut Al-Qusyairi, dapat dilakukan dengan merujuknya pada doktrin ahlus sunnah wal-jama’ah, yaitu dengan mengikuti para sufi sunni abad ketiga dan keempat Hijriyah sebagaimana di riwayatkan dalam Ar-Risalah.  
D.      Al-Ghazali
1.      Riwayat Hidup
nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali. dia dilahirkan di Desa Ghuzala daerah Thus. salah satu kota di Kusaran, Persia pada tahun 450 H/1085 M. sejak kecil hingga dewasa, orang tuanya memberi nama padanya Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali. kemudian setelah menikah dan dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama hamid, maka beliau dipanggil dengan panggilan akrab abu Hamid (bapak si Hamid)
sampai dengan usia dua puluh tahun, Al-Ghazali tetpa tinggal dan belajar dikota kelahirannya, Thus. dia belajar ilmu fiqih secara mendalam dari Ahmad bin Muhammad Al-Razkani. kecuali itu, dia belajar ilmu tasawuf dari Yusuf Al-Nassaj, seorang sufi yang terkenal pada masa itu. kedua ilmu itu sangat terkesan di hati Al-Ghazali dan ia bertekad untuk lebih mendalami lagi di kota-kota lain. pada tahun 470 H, Al-Ghazali pindah kekota Jurjan, ia tidak lagi hanya mendapat pelajaran tantang dasar-dasar agama Islam sebagaimana yang diterima di kota Thus, tetapia ia mendalami pula pelajaran bahasa Arab dan bahasa Persi.
pada tahun 471 H Al-Ghazali berangkat menuju Naisabur, karena tertarik dengan Perguruan Tinggi Nizamiyah, disini dia bertemu dan belajar dengan seorang ulama besar, Abu Al-Ma’ali Dhiya’u al-Din al-Juwaini yang lebih dikenal dengan Imam Al-Haramain, sebagai pimpinan perguruan tinggi tersebut. kepada ulama besar ini, al-Ghazali belajar langsung sebagai mahasiswa dalam berbagai ilmu pengetahuan, seperti ilmu kalam, Fiqih, Usul Fiqih, Retorika, Mantik, serta mendalami Filasafat.
secara keseluruhan, kehidupan dan praktek kesufian yang dijalani Al-Ghazali lewat pengembaraannya, kurang lebih selam sepuluh tahun.
dalam menghabiskan sisa umurnya al-Ghazali mendirikan khanaqah atau sejenis pondok bagi para sufi dan madrasah bagi para penuntut ilmu. beliau pun menghabiskan hari-harinya untuk berbuat kebajikan seperti menghatamkan al-Qur’an, bertemu dengan para sufi dan mengajar murid-muridnya. kurang lebih setelah masa lima tahun sepulang Al-Ghazali dari pengembaraan sufinya, maka pada hari Senin, tgl 14 Jumadil Akhir 505 H, Hujjah al-Islam Imam Al-Ghazali menghadap kehadirat Allah di pangkuan adiknya, Ahmad Al-Ghazali.[6]   
2.      Ajaran-Ajaran Tasawufnya
Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih Tasawuf Sunni yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlussunah Wal-Jama’ah. dari faham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecenderungan eghotis yang mempengaruhi para filosof Islam, Sekte Ismailiyah, aliran syi’ah, ikhwan As-Shoffa, dan lain-lain.
Menurut Al-Ghazali jalan menuju tasawuf dapat dicapai dengan cara mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu lepas dari segala sesuatu selain Allah dan selalu mengingat Allah. Al-Ghazali menilai negative terhadap Syathahat. ia menganggap bahwa syathahat mempunyai dua kelemahan. pertama, kurang memperhatikan amal lahiriyah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami, mengemukakan kesatuan dengan tuhan, dan menyatakan bahwa Allah dapat disaksikan. kedua, Syathahat merupakan hasil pemikiran yang kacau dan hasil imajinasi sendiri.
Al-Ghazali sangat menolak paham hulul dan Itihad. untuk itu, ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (Taqarub il Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Ma’rifat menurut versi Al-Ghazali, diawali dalam bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan (makamat) dan keadaan (ahwal). oleh karena itu, Al-Ghazalli mempunyai jasa besar dalam dunia Islam. dialah yang mampu memadukan antara ketiga kubu keilmuan Islam, yakni, Tasawuf, Fiqih, dan Ilmu Kalam, yang sebelumnya banyak menimbulkan terjadinya ketegangan.










BAB III
KESIMPULAN

Tokoh-tokoh  Tasawuf Akhlaqi dan ajaran Tasawufnya.
1.      Hasan Al-Bashri
nama lengkapnya adalah Abu Said Al-Hasan bin Yasar adalah seorang zahid yang sangat masyhur dikalangan atabi’in. ia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H (623 M) dia wafat pada hari kamis, 10 Rajab 110 H (728 M).
Ajaran Tasawuf Hasan Al-Bishri, Antara lain adalah sebagai berikut :
a.       “Perasaan takutmu sehingga bertemu dengan hati tentram, lebih baik dari pada perasaan tentrammu yang kemudiannya menimbulkan takut.”
b.      “DUnia ialah negeri tempat beramal. Barang siapa yang bertemu dengan dunia dengan rasa benci kepadanya dan suhud, akan berbahagialah dia dan beroleh faedah dalam persahabatan itu. Tetapi barang siapa yang tinggal dalam dunia, lalu hatinya rindu dan perasaan tersangkut kepadanya, akhirnya dia akan sengsara. Dia akan terbawa kepada suatu masa yang tidak dapat dideritanya.”
c.       Perasaan tentang tafakkur. “Tafakkur membawa kita kepada kebaikan dan berusaha mengarjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat, membawa kep-ada meninggalkannnya. Barang yang fana walaupun bagaimana banyaknya, tidaklah dapat menyamai barang yang baqa’. Walaupun sedikit, awasilah dirimu dari negeri yang cepat datang dan cepat pergi ini, dan penuh dengan tipuan.
d.      Dunia ini laksana seorang perempuan janda tua yang telah bungkuk, dan telah banyak kematian laki.
e.       Orang yang beriman berduka cita pagi dan berduka cita diwaktu sore karena dia hidup diantara dua ketakutan.”
f.       Tentang duka cita, beliau berkata: “patutlah orang insaf bahwa mati sedang mengancamnya. dan kiamat menagih janjinya, dan dia mesti berdiri di hadapan Allah akan dihitung.”
g.      Banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal sholeh.
2.      Al-Muhasibi
Al-muhasibi (w. 243 H/ 875 M) dilahirkan di basrah dan mengabiskan sebagain besar usianya di Baghdad, nama lengkapnya adalah abu Abdullah al-harist at-muhasibi.
Al-muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketaqwaan kepada allah, melaksanakan kewajiban-kewajiban, wara’ dan meneladani Rasulullah.
3.      Al-Qusyairi
Naman lengkap Al-Qusyairi adalah Abdul karim ibnu Hawazin Al-Qusyairi. lahir pada tahun 376 H di Istiwa, kawasan Nishafur. Al-Qusyairi meninggal pada 16 Rabi’ul Akhir 465 H
4.      Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali. dia dilahirkan di Desa Ghuzala daerah Thus.
dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih Tasawuf Sunni yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlussunah Wal-Jama’ah. dari faham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecenderungan eghotis yang mempengaruhi para filosof Islam, Sekte Ismailiyah, aliran syi’ah, ikhwan As-Shoffa, dan lain-lain.








BAB IV
PENUTUP

Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan. Kritik dan Saran konstruksi sangat kami harapkan dari pengampu, serta dari rekan-rekan, guna perbaikan dan sempurnanya makalah yang akan datang.
Semoga makalah ini bermanfaat dan dapat menambah khasanah pengetahuan, manfaat untuk kita semua. Amin.


DAFTAR PUSTAKA

-          Prof. Dr. Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemikirannya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
-          Prof. Dr. H. Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo: Ramadhani, 1994.
-          Prof. Dr. Amin Syukur, MA, Drs. Masharudin. Intelektualisme Tasawuw Studi Intelektualisme Tasawuf al-Ghazali. Semarang: Pustaka Pelajar, 2002.
-          http://sejarah-bekentomoninte.blogspot.com


[1] http://jutysyawaladi.blogspot.com/2010/01/tokoh-tokoh.tasawuf.akhlaqi.html
[2] Prof. Dr. Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemikirannya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983, hlm. 71-72.
[3] http://sejarah-bekentomoninte.blogspot.com
[4] http://julysyawaladi.blogspot.com
[5] Prof. Dr. H. Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo: Ramadhani, 1994. hal. 274-275.
[6] Prof. Dr. Amin Syukur, MA, Drs. Masharudin. Intelektualisme Tasawuw Studi Intelektualisme Tasawuf al-Ghazali. Semarang: Pustaka Pelajar, 2002. hal. 126

Tidak ada komentar:

Posting Komentar