A.
Pendahuluan
Hakim wajib memutus bagian demi bagian dari tuntutan,
tetapi hakim dilarang memutus melebihi dari tuntutan atau hal-hal yang tidak
dituntut.
Mahkamah Agung dalam putusan tanggal 18 Januari 1951
menganggap bahwa mengabulkan lebih dari yang dimohonkan melanggar pasal 178
ayat (3) Reglemen Indonesia (Majalah Hukum, 1951 No. 1:25).
Putusan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
apabila ketentuan ini tidak dipenuhi, mengakibatkan putusan pengadilan tidak
sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. putusan diucapkan, baik dihadiri oleh
salah satu pihak atau kedua-duanya tidak hadir. apabila salah satu pihak atau
kedua belah pihak tidak hadir, maka atas perintah hakim ketua siding
disampaikan salinan putusan dengan surat tercatat kepada pihak-pihak yang tidak
hadir itu.
Hukum acara peratun hanya mengenal satu macam
tuntutan pokok, yaitu agar surat keputusan tata usaha Negara yang disengketakan
dinyatakan batal atau tidak sah dan tidak ada tuntutan penggantian atau subside
atau lebih subside. tuntutan tambahan berupa ganti rugi dan atau rehabilitasi.
B.
Permasalahan
1.
Putusan
dibagi menjadi berapa macam?
2.
Bagaimana
kekuatan putusan?
3.
Bagaimana
bentuk Putusan?
C.
Pembahasan
1.
Macam-macam
Putusan
a.
Putusan
antara
Hokum acara
yang digunakan pada Pertun pada dasarnya sama dengan hokum acara peradilan umum
untuk perkara perdata. dalam hokum acara perdata, putusan dapat digolongkan
menjadi putusan antara dan putusan akhir. putusan antara diucapkan sebelum
putusan akhir dan mempunyai fungsi untuk memungkinkan atau mempermudah
kelanjutan pemeriksaan perkara.
Ada
dua macam putusan antara, yaittu putusan praeparatoire dan putusan interlocutoire
(Soepomo, 1963: 105-106). dalam hokum acara pertun tidak dikenal putusan antara
tersebut.
Putusan
praeparatoire maupun putusan interlocutoire tidak dikenal oleh
hokum acara Peratun karena gugatan tidak menunda pelaksanaan putusan badan tata
usaha Negara yang disengketakan. hal ini sesuai dengan asas dalam hokum acara
Peratun karena setiap keputusan badan tata usaha Negara harus selalu dianggap
benar dan karena itu selalu dapat dijalankan. namun demikian, dalam keadaan
tertentu yang dipandang cukup beralasan serta kepentingan umum tidak dirugikan,
penggugat dapat mengajukan permohonan penundaan pelaksanaan keputusan yang
digugat (pasal 67).[1]
b.
Putusan
akhir
Putusan akhir
menurut sifatnya dapat dibagi dalam 3 jenis.
a.
Putusan
bersifat pembebanan
putusan yang mengandung pembebanan,
misalnya tergugat dibebani untuk membatalkan surat keputusan yang digugat.
tergugat dibebani membayar ganti kerugian atau tergugat dibebani rehabilitasi
(pasal 97 ayat 9 butir huruf a, b, dan c pasala 97 ayat 10 dan 11). contoh :
surat pemberhentian pegawai dibatalkan dan dilakukan rehabilitasi.
b.
putusan
yang bersifat pernyataan
putusan yang hanya menegaskan suatu
keadaan hokum yang sah. misalnya penetapan dismissal (pasal 62). contoh :
gugatan tidak diterima atau tidak berdasar. Penetapan perkara diperiksa dengan
acara cepat (psal 98). beberapa perkara perlu digabungkan atau dipisah-pisah,
dan lain-lain.
c.
putusan
bersifat penciptaan.
putusan yang melenyapkan suatu
keadaan hokum atau melahirkan atau menciptakan suatu keadaan hokum baru. misalnya
tergugat selain dibebani untuk membatalkan surat keputusan yang digugat, juga
dibebani kewajiban yang harus dilakukan oleh tergugat untuk menerbitkan
keputusan tata usaha Negara yang baru (pasal 97 ayat 9 huruf b).
2.
Kekuatan
putusan
Dalam hokum
acara Peratun tidak memuat peraturan tentang keputusan hakim. maka kemidian
timbul persoalan, seberapa jauh putusan pengadilan tata usaha Negara mempuyai
kekuatan pasti. meskipun itu tidak diatur, tetapi sistem hokum acara peratun
mengenal tenggang waktu. misalnya, dalam pasal 62 ayat (3) ditetapkan bahwa
perlawanan terhadap penetapan dismissal (pasal 62 ayat 1) diajukan dalam
tenggang waktu 14 hari setelah diucapkan.
tenggang waktu
mengajukan permohonan pemeriksaan banding ialah 14 hari setelah putusan
pengadilan itu diberitahukan kepada pihak-pihak secara sah (pasal 123). dalam
KUHPer, pasal 1917-1920 memuat beberapa peraturan mengenai putusan hakim yang
telah memperoleh kekuatan pasti.
Didalam hokum
acara, ada putusan dimana hakim memberikan keputusan tentang suatu sengketa
yang diserahkan kepadanya yang dinamakan jurisdicto contentiosa atau contentieuse
jurisdictie, yang berarti peradilan dalam sengketa. disamping itu, ada
perbuatan-perbuatan yang bukan peradilan yang dinamakan jurisdicto voluntaria
atau voluntaire jurisdictie, yang berarti peradilan sukarela.
pekerjaan-pekerjaan ini yang bukan berupa memutus perkara dan sebenarnya adalah
pekerjaan urusan pemerintah (bestuur) yang diserahkan kepada pengadilan.
misalnya, dalam hokum acara perdata dikenal pengangkatan seorang wali untuk
seorang anak yang belum dewasa, pemberian izin kawin, dan lain-lain. dalam
hokum acara peratun dikenal putusan dismissal; menggabungkan dua perkara atau
memisahkan satu perkara menjadi dua perkara.
Ada tiga macam
kekuatan yang terdapat pada putusan hakim, yaitu sebagai berikut :
-
Kekuatan
mengikat
-
Kekuatan
eksekutorial
-
Kekuatan
pembuktian
Putusan
pengadilan memperoleh kekuatan mutlak seketika setelah tenggang waktu
permohonan banding telah lewat tanpa dipergunakan, sedang putusan pengadilan
tinggi memperoleh kekuatan mutlak seketika setelah tenggang waktu permohonan
kasasi telah lewat dari tidak dipergunakan dan putusan Mahkamah Agung dengan
sendirinya mempunyai kekuatan hokum mutlak karena sudah tidak ada lagi upaya hokum
yang lebih tinggi yang dipergunakan terhadap putusan Mahkamah Agung.
Pada umumnya,
suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan mutlak dapat dijalankan.
putusan demikian dapat dinamakan putusan yang ada pada akta otentik.[2]
3.
Bentuk
putusan
pasal 109 ayat (1) merupakan
ketentuan yang imperative mengenai bentuk putusan hakim, sebab apabila salah
satu ketentuan atau unsurnya tidak dipenuhi, dapat diancam dengan pembatalan
(pasal 109 ayat 2).
dalam pasal 109 disebutkan suatu
keharusan bahwa putusan pengadilan :
a.
Kepala
putusan yang berbunyi : Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
b.
Nama,
Jabatan, Kewarganagaraan, Tempat kediaman, atau tempat kedudukan para pihak
yang bersengketa.
c.
ringkasan
gugatan dan jawaban tergugat yang jelas.
d.
Pertimbangan
dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan
selama sengketa itu diperiksa.
e.
Alasan
hokum yang menjadi dasar dasar putusan
f.
Amar
putusan tentang sengketa dan biaya perkara.
g.
Hari,
tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera, serta keterangan
tentang hadir atau tidaknya para pihak.
kepada pihak yang dikalahkan dihukum
untuk membayar biaya perkara selambat-lambatnya tiga hari setelah putusan
pengadilan diucapkan, putusan harus ditanda tangani oleh hakim yang memutus dan
panitera yang turut bersidang. apabila hakim anggota majelis berhalangan
menandatangani, maka putusan pengadilan ditandatangani oleh hakim ketua majelis
dengan menyatangan berhalangannya hakim anggota majelis tersebut. pihak yang
berkepentingan langsung dapat meminta supaya diberikan kepadanya salinan resmi
putusan tersebut pada kepaniteraan dengan membayar biaya salinan.[3]
D.
Kesimpulan
Dari pemaparan
diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa putusan dibagi menjadi dua yaitu putusan
antara dan putusan akhir, putusan antara dalam Pertun digunakan hanya dalam
keadaan tertentu yang dipandang cukup beralasan serta kepentingan umum tidak
dirugikan.
Putusan
mempunyai tiga kekuatan yaitu kekuatan yang mengikat, eksekutorial dan
pembuktian, adapun bentuk putusan harus memenuhi ketentuan atau unsur putusan.
E.
Penutup
Demikian
makalah yang dapat say sampaikan, saya selaku pemakalah sadar bahwa makalah
yang saya buat tidaklah sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun sangat saya harapkan guna pembenahan kedepannya agar lebih baik.
semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
F.
Referensi
-
Mr.
Martiman Prodjohamidjojo, M.A., M.M.,Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara
dan UU PTUN 2004, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005.
-
Djoko
Prakoso, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yoyakarta 1988.
-
Marbun,
Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta, 1986.
[1]
Mr.
Martiman Prodjohamidjojo, M.A., M.M.,Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara
dan UU PTUN 2004, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hlm : 98-100
[2]
Djoko Prakoso, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yoyakarta 1988, hlm : 78
[3]
Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta, 1986, hlm : 92
Tidak ada komentar:
Posting Komentar