Rabu, 18 Januari 2012

EFEKTIFITAS PERPU NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG HAK ISTRI SETELAH DICERAIKAN OLEH SUAMI YANG BERSTATUS PEGAWAI NEGERI SIPIL

A.    Latar Belakang Masalah
 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.[1] Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan atau akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah.[2] Perkawinan menurut sebagian Fuqaha ialah Aqad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafad nikah atau ziwaj atau semakna keduanya. Tegasnya, Perkawinan ialah Suatu Aqad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih saying dengan cara yang diridhai Allah SWT.[3]
Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena dengan Perkawinan, dapat mengurangi maksiat penglihatan, memelihara diri dari perbuatan zina. Oleh karena itu, bagi mereka yang berkeinginan untuk menikah, sementara perbekalan untuk memasuki perkawinan belum siap, dianjurkan berpuasa. Dengan berpuasa, diharapkan dapat membetengi diri dari perbuatan tercela yang sangat keji yaitu perzinaan.
Kalau pelaksanaan perkawinan itu merupakan pelaksanaan hukum agama, maka perlu diingat bahwa dalam melaksanakan perkawinan itu oleh agama ditentukan unsur-unsurnya yang menurut istilah hukumnya disebut rukun-rukun dan masing-masing rukun memerlukan syarat-syarat sahnya. Adapun rukun perkawinan antara lain: dua orang yang saling melakukan aqad, perkawinan yakni mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, adanya wali, adanya 2 orang saksi serta dilakukan dengan shighat tertentu. Rukun dan syarat-syarat perkawinan wajib dipenuhi, apabila tidak dipenuhi maka perkawinan yang dilangsungkan tidak sah. Disebutkan dalam kitab al-fiqh'ala al- Mazahib al- Arba' ah: "Nikah fazed yaitu nikah yang tidak memenuhi syarat-syaratnya, sedangkan nikah batil adalah nikah yang tudak memenuhi rukunnya".[4]
Perkawinan sebagai perbuatan hukum antara lain suami dan isteri, bukan saja bermakna untuk merealisasikan ibadah kepadaNya, tetapi sekaligus menimbulkan akibat hukum keperdataan antara keduanya. Namun demikian, karena tujuan perkawinan yang begitu mulia yaitu membina keluarga bahagia, kekal, abadi berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa, maka perlu diatur hak dan kewajiban suami dan isteri masing-masing. Apabila hak dan kewajiban masing-masing suami dan isteri terpenuhi, maka dambaan suami-isteri dalam bahtera rumah tangga dapat terwujud, didasari rasa cinta dan kasih sayang. Masalah hak dan kewajiban suami-isteri dalam UU perkawinan diatur didalam Bab VI pasal 30 sampai pasal 34, sementara dalam kompilasi hukum islam diatur dalam Bab XII pasal 77 sampai dengan pasal 84, pasal 30 UU perkawinan menyatakan: "Suami Isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat". Dalam rumusan redaksi yang berbeda kompilasi hukum islam pasal 77 ayat 1 berbunyi: "Suami Isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat".
Pemberiaan yang telah diberikan suami kepadanya istrinya apabila karena sesuatu dan lain, mereka berpisah, maka tidak seyogjanya suami menarik kembali pemberiaannya. Perkawinan dalam islam dianjurkan, agar dapat berlangsung abadi, tanpa dibayangi oleh perceraian. Karena perceraian meski merupakan jalan keluar yang halal, ia sangat dibenci oleh Allah.[5]
Berangkat dari permasalahan tersebut penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam masalah tersebut yang tertuang dalam sebuah judul: "Efektifitas PP Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Hak Istri Setelah Diceraikan Oleh Suami Yang Berstatus PNS".
  
B.     Penegasan Istilah
Agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap judul yang dibahas maka lebih jelahnya jika diuraikan pengertian judul sebagai berikut :
1. Efektifitas
Efektivitas adalah pemanpaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah pekerjaan tepat pada waktunya.
2. Perpu No. 10 tahun 1983
Perpu No.10 tahun 1983 adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil
3. hak istri
Hak istri sesuatu hal yang didapatkan dari suaminya. Apabila hak tersebut tidak didapatkan dari suaminya maka seorang istri tersebut bisa menuntutnya sebagaimana isi dalam sighot ta’lik talak.
4. Setelah perceraian
Setelah perceraian adalah setelah dikeluarkannya putusan pengadilan
5. Oleh
Kata penghubung untuk menandai pelaku
6. Suami
Suami adalah pemimpin dalam rumah tangga
7. Yang
Yang adalah kata untuk menyatakan bahwa kata atau kalimat yg berikut diutamakan atau dibedakan dr yg lain


8. Berstatus
Berstatus adalah mempunyai status dalam suatu kedudukan
9. Pegawai negeri sipil
Pegawai negeri sipil adalah Pengertian Pegawai Negeri adalah warga negara RI yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

C.    Rumusan Masalah
Berdasarkan Latarbelakang diatas atau alasan pemberian judul, maka penulis rumuskan pokok masalah dari penelitian ini sebagai berikut :
  1. Apakah pengertian  dan macam-macam perceraian itu ?
  2. Bagaimanakah Hak istri bilamana istri setelah diceraikan oleh suami yang berstatus PNS didasarkan atas PP Nomor 10 Tahun 1983 itu nikah lagi ?
  3. Apa saja syarat-syarat seorang istri bisa diceraikan oleh suami yang berstatus PNS yang didasarkan atas PP Nomor 10 Tahun 1983 ?
  4.  Bagaimanakah Efektifitas PP Nomor 10 Tahun 1983 tentang Hak istri yang diceraikan oleh suami yang berstatus PNS ?

D.    Tujuan penelitian dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Efektifitas PP Nomor 10 Tahun 1983 tentang Hak Istri  setelah diceraikan oleh suami yang berstatus PNS.
Adapun kegunaan yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah :
  1. Untuk mengetahui hak istri bilamana istri setelah diceraikan oleh suami yang berstatus PNS yang didasarkan atas PP Nomor 10 Tahun 1983
  2. Untuk mengetahui pengertian dan macam-macam perceraian
  3. Untuk mengetahui syarat-syarat seorang istri bisa diceraikan oleh suami yang berstatus PNS didasarkan atas PP Nomor 10 Tahun 1983
  4. Untuk mengetahui Efektifitas PP Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Hak Istri setelah diceraikan oleh suami yang berstatus PNS Nomor 10 Tahun 1983

E. Manfaat Penelitian
Bila tujuan penelitian dapat tercapai maka hasil penelitian akan memiliki manfaat praktis dan teoritis
1. Manfaat Praktis
a. Menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya dibidang perundang-undangan.
b. Menambah pengetahuan dalam hukum islam tentang perkawinan
2. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang Efektifitas PP Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Hak Istri Setelah Diceraikan Oleh Suami Yang Berstatus PNS".

F. Tinjauan Pustaka
Pada Prinsipnya tujuan perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Pasal 1 menegaskan: "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Untuk itu, penjelasan umum, poin 4 huruf a menyatakan, Suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiaannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Karena itu, UU ini juga menganut asas atau prinsip mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta dilakukan di depan sidang pengadilan.
Dalam Islam perceraian prinsipnya dilarang, ini dapat dilihat pada isyarat Rasulullah SAW. Bahwa talak atau perceraian adalah perbuatan halal yang dibenci oleh Allah.
            اَبْغَضُ اْلحَلاَلِ اِلَى اللهِ الطَّلاَقُ (رواه ابوداودوابنى ما جه و الحا كم)
" Sesuatu Perbuatan yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak (perceraian) (H.R. Abu Dawud, Ibn Majah, dan Al- Hakim, dari Ibn 'Umar).

Karena itu, isyarat tersebut menunjukkan bahwa talak atau perceraian, merupakan alternatif terakhir, sebagai "pintu darurat" yang boleh ditempuh, manakala bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan keutuhan dan kesinambungannya. Sifatnya sebagai alternatif terakhir, Islam menunjukkan agar sebelum terjadi talak atau perceraian, ditempuh usaha-usaha perdamaian antara kedua belah pihak, baik melalui hakam (arbitrator) dari kedua belah pihak, atau melalui langkah-langkah seperti akan diuraikan.
Setidaknya ada empat kemungkinan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga, yang dapat memicu timbulnya keinginan untuk memutus atau terputusnya perkawinan.
  1. Terjadinya nusyuz dari pihak isteri
Adapun petunjuk mengenai langkah-langkah menghadapi isteri melakukan nusyuz, surat an Nisa' 4:34 menjelaskan :
ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# šc%x. $wŠÎ=tã #ZŽÎ6Ÿ2 ÇÌÍÈ  
"Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.


Petunjuk tersebut apabila dirinci, dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.       Isteri diberi nasehat tentang berbagai kemungkinan negatif dan positifnya (al- tarhib wa al- targib), dari tindakannya itu, terlebih apabila sampai terjadi perceraian, dan yang terutama agar kembali lagi berbaikan dengan suaminya.
b.       Apabila usaha pertama berupa pemberian nasehat tidak berhasil, langkah kedua adalah memisahkan tempat tidur isteri dari tempat tidur suami, meski masih dalam satu rumah. Cara ini dimaksudkan, agar dalam " kesendirian tidurnya itu " ia memikirkan untung dan ruginya dengan segala akibatnya dari tindakannya itu.
c.       Apabila langkah kedua tersebut tidak juga dapat mengubah pendirian si isteri untuk nusyuz, maka langkah ketiganya adalah memberi pelajaran, atau dalam bahasa Al- Qur'an memukulnya. Para mufasir menafsirkan dengan memukul yang tidak melukai, atau yang lebih tepat adalah mendidiknya.
  1. Terjadinya nusyuz dari pihak suami
Dalam surat An-Nisa' 4:128 dinyatakan :
ÈbÎ)ur îor&zöD$# ôMsù%s{ .`ÏB $ygÎ=÷èt/ #·qà±çR ÷rr& $ZÊ#{ôãÎ) Ÿxsù yy$oYã_ !$yJÍköŽn=tæ br& $ysÎ=óÁム$yJæhuZ÷t/ $[sù=ß¹ 4 ßxù=Á9$#ur ׎öyz 3 ÏNuŽÅØômé&ur Ú[àÿRF{$# £x±9$# 4 bÎ)ur (#qãZÅ¡ósè? (#qà)­Gs?ur  cÎ*sù ©!$# šc%x. $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? #ZŽÎ6yz ÇÊËÑÈ  
" Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan".

Dalam " Al- Qur'an dan terjemahannya " terdapat keterangan bahwa jalan yang ditempuh apabila suami nusyuz seperti acuh tak acuh, tidak mau menggauli dan tidak memenuhi kewajibannya, maka upaya perdamaian bisa dilakukan dengan cara isteri merelakan haknya dikurangi untuk sementara agar suaminya bersedia kembali kepada isterinya dengan baik.
Menurut Sayuti Thalib, ayat ini dijadikan dasar untuk merumuskan tata cara dan syarat-syarat bagi taklik talak sebagai bentuk perjanjian perkawinan. Maksudnya untuk mengantisipasi dan sekaligus sebagai cara untuk mrnyelesaikan apabila suami melakukan nusyuz. Lebih lanjut Thalib menjelaskan :
Ada beberapa pendapat mengenai hukum mengadakan perjanjian dalam perkawinan yang dirumuskan dalam bentuk taklik talak itu yang terlihat sebagai berikut :
1.      Menurut Al- Qur'an berupa anjuran dengan kata-kata dalam Al- Qur'an itu berbunyi : "Seyogyanyalah diadakan perjanjian dan perjanjian adalah baik".
2.      Menurut umumnya perumusan fiqh hukumnya adalah kebolehan atau ibadah.
3.      Sedangkan di Indonesia taklik talak itu selalu dimuat dalam surat (pendaftaran) akad nikah perkawinan, sehingga seolah-olah telah diperlakukan sebagai suatu yang wajib, yang biasa. Yang menjadi sesuatu yang selalu ada. Diusahakan menjadi lebih jelas dari keadaan sekarang yang seolah-olah menjadi soal bagi pihak suami saja sedangkan isterinya dianggap telah setuju dengan sendirinya saja.
  1. Terjadinya perselisihan atau percekcokan antara suami dan isteri
Dalam Al- Qur'an disebut syiqaq. Dalam hal ini Al- Qur'an surat An-Nisa' 4:35 memberi petunjuk :
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yƒÌãƒ $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqムª!$# !$yJåks]øŠt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã #ZŽÎ7yz ÇÌÎÈ  
" Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal".

Penunjukkan hakam dari kedua belah pihak ini diharapkan dapat mengadakan perdamaian dan perbaikan untuk menyelesaikan persengketaan diantara dua belah pihak suami dan isteri. Apabila karena sesuatu hal, hakam yang ditunjuk tidak dapat melaksanakan tugasnya, dicoba lagi dengan menunjuk hakam lainnya. Dalam hal ini, di Indonesia dikenal sebuah badan penasehat perkawinan dan penyelesaian perceraian (BP4) yang tugas dan fungsinya menjalankan tugas hakam (arbitrator) untuk mendamaikan suami isteri yang bersengketa, atau dalam hal-hal tertentu memberi nasehat calon suami dan isteri yang merencanakan perkawinan. Karena keterlibatan BP4 ini masuk dalam prosedur teknis berperkara dalam perceraian.
  1. Terjadinya salah satu pihak melakukan perbuatan zina atau fakhisyah, yang menimbulkan saling tuduh menuduh antara keduanya.
Cara penyelesaiannya adalah membuktikan tuduhan yang didakwakan, dengan cara li'an. Li'an sesungguhnya telah memasuki "gerbang" putusnya perkawinan, dan bahkan untuk selama-lamanya karena akibat li'an adalah terjadinya talak ba'in kubra.
Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan, Perkawinan dapat putus karena:
a.       Kematian
b.      Perceraian
c.       Atas keputusan pengadilan[6]
Dilihat dari jumlahnya, talak dibagi menjadi :
1.      Talak Raj'i yaitu talak satu dan kedua, dimana suami berhak merujuk selama isteri dalam masa iddah.
2.      Talak Ba'in adalah talak yang tidak memberi hak untuk merujuk bagi bekas suami terhadap bekas isterinya, untuk mengembalikan bekas isteri kedalam ikatan perkawinan dengan bekas suami harus melalui aqad nikah baru, lengkap dengan rukun dan syaratnya. Talak Ba'in, ada dua macam :
1)      Talak ba'in sughra yaitu talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah. Talak ini meliputi :
a.       Talak yang terjadi qabla al-dukhul
Allah berfirman :
  $pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) ÞOçFóss3tR ÏM»oYÏB÷sßJø9$# ¢OèO £`èdqßJçGø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br&  Æèdq¡yJs? $yJsù öNä3s9 £`ÎgøŠn=tæ ô`ÏB ;o£Ïã $pktXrtF÷ès? ( £`èdqãèÏnGyJsù £`èdqãmÎhŽ| ur %[n#uŽ|  WxŠÏHsd ÇÍÒÈ  
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya".


Yang dimaksud dengan mut'ah disini adalah pemberian untuk menyenangkan hati isteri yang diceraikan sebelum dicampuri.
b.      Talak dengan tebusan atau khuluk
Khuluk adalah dengan tebusan dari isteri kepada suami. Allah berfirman :
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 Ÿwur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3tƒ $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjŠtÎ/ Îû y7Ï9ºsŒ ÷bÎ) (#ÿrߊ#ur& $[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_uyŠ 3 ª!$#ur îƒÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ  
"Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru', tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".

c.       Talak dengan putusan pengadilan(fasakh)
2)      Talak ba'in Kubro yaitu talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak ini suami tidak dapat rujuk dan menikah kembali dengan bekas isterinya, kecuali bekas isteri telah menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba'da al-dukhul dan habis masa iddahnya.
Dilihat dari masa kebolehan menjatuhkan talak, ada dua macam :
  1. Talak sunny yaitu talak yang dibolehkan yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dikumpuli dalam waktu suci tersebut.
  2. Talak bid'I yaitu talak yang dilarang yang dijatuhkan terhadap isteri pada waktu haid atau isteri suci tapi sudah dikumpuli pada waktu suci tersebut.[7]

Isteri yang dicerai suaminya ada beberapa kemungkinan waktu tunggu, sebagai berikut :
  1. Dalam keadaan hamil
Apabila isteri dicerai suaminya dalam keadaan hamil masa iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya.
  1. Dalam keadaan tidak hamil
a.       Apabila isteri diceraikan sebelum terjadi hubungan kelamin maka tidak berlaku masa 'iddah baginya.
b.      Apabila ia dicerai suaminya setelah terjadi hubungan kelamin (dukhul):
-          Bagi yang masih datang bulan, waktu tunngunya ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari. Firman Allah menegaskan :
-          Bagi yang tidak atau belum berdatang bulan masa 'iddahnya tiga bulan atau 90 hari. Tidak datang bulan disini maksudnya adalah karena wanita tersebut sudah memasuki masa bebas haid. Dasarnya firman Allah :
Ï«¯»©9$#ur z`ó¡Í³tƒ z`ÏB ÇÙŠÅsyJø9$# `ÏB ö/ä3ͬ!$|¡ÎpS ÈbÎ) óOçFö;s?ö$# £`åkèE£Ïèsù èpsW»n=rO 9ßgô©r& Ï«¯»©9$#ur óOs9 z`ôÒÏts 4 àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4 `tBur È,­Gtƒ ©!$# @yèøgs ¼ã&©! ô`ÏB ¾Ín͐öDr& #ZŽô£ç ÇÍÈ  
"Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya".

-          Bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui maka iddahnya tiga kali waktu suci (pasal 153 ayat 5 KHI).
-          Dalam keadaan pada ayat 5 tersebut bukan karena menyusui, maka 'iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid kembali, maka 'iddahnya menjadi tiga kali suci. Ketentuan ini dipahami dari isyarat firman Allah surat al-Baqarah, 2:240; meski sesungguhnya ayat ini bagi isteri yang ditinggal mati suaminya.
tûïÏ%©!$#ur šcöq©ùuqtGムöNà6YÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& Zp§Ï¹ur OÎgÅ_ºurøX{ $·è»tG¨B n<Î) ÉAöqyÛø9$# uŽöxî 8l#t÷zÎ) 4 ÷bÎ*sù z`ô_tyz Ÿxsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ Îû $tB šÆù=yèsù þÎû  ÆÎgÅ¡àÿRr& `ÏB 7$rã÷è¨B 3 ª!$#ur îƒÍtã ×LìÅ6ym ÇËÍÉÈ  
"Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[8]

Bila perkawinan putus karena perceraian, maka bekas suami wajib :
1.      Memberikan mut'ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qabla al-dukhul.
2.      Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isterinya selama dalam 'iddah, kecuali bekas isteri telah ditalak ba'in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
3.      Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separo apabila qabla al-dukhul.
4.      Memberikan biaya hadlanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.[9]
 Disini akan dibahas apabila yang melakukan perceraian adalah seorang pegawai negeri sipil. Pegawai negeri sipil adalah unsur aparatur Negara, abdi Negara dan abdi masyarakat yang harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan, dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun Syarat-syarat isteri diceraikan oleh suami yang berstatus PNS yang didasarkan atas PP Nomor 10 Tahun 1983.
1.      Dalam Pasal 10 ayat 2
Syarat Alternatif :
a.       Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
b.      Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c.       Isteri tidak dapat melahirkan keturunan
2.      Dalam Pasal 10 ayat 3
1.      Ada persetujuan tertulis dari isteri
2.      Pegawai negeri sipil pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak-anaknya yang dibuktikan denagn surat keterangan pajak penghasilan
3.      Ada jaminan tertulis dari pegawai negeri sipil yang bersangkutan bahwa ia akan adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.[10]
 Kemudian apabila perceraian atas kehendak pegawai negeri sipil pria maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas isteri dan anak-anaknya (pasal 8 PP No 10 Tahun 1983) dengan ketentuan sebagai berikut :
a.       Apabila anak mengikuti bekas isteri, maka pembagian gaji ditetapkan sebagai berikut :
Sepertiganya gaji untuk bekas isterinya: Sepertiga gaji untuk anaknya yang diterimakan kepada bekas isterinya. Apabila perkawinan tidak menghasilkan anak, maka gaji dibagi dua, yaitu setenagah untuk pegawai negeri sipil pria yang bersangkutan dan setengah untuk bekas isterinya.

b.      Apabila anak mengikuti pegawai negeri sipil pria yang bersangkutan, maka pembagian gaji ditetapkan sebagai berikut :
Sepertiga gaji untuk pegawai negeri sipil pria yang bersangkutan: Sepertiga gaji untuk bekas isterinya. Sepertiga gaji untuk anaknya yang diterimakan kepada pegawai negeri sipil pria yang bersangkutan.
c.       Apabila sebagian anak mengikuti pegawai negeri sipil yang bersangkutan dan sebagian lagi mengikuti bekas isteri, maka sepertiga gaji yang menjadi hak anak itu menurut jumlah anak. Umpamanya seorang pegawai negeri sipil bercerai dengan isterinya, pada waktu perceraian terjadi mereka mempunyai tiga orang anak, yang seorang mengikuti pegawai negeri sipil yang bersangkutan dan yang dua orang mengikuti bekas isteri. Dalam hal sedemikian, maka bagian gaji yng menjadi hak anak itu dibagi sebagai berikut :
1.      1/3 (sepertiga) dari 1/3 (sepertiga) gaji: 1/9 (sepersembilan) gaji diterimakan kepada Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan
2.      2/3 (dua pertiga) dari 1/3 (sepertiga) gaji: 2/9 (dua persembilan) gali diterima kepada bekas isterinya
Hak atas bagian  gaji sebagai tersebut diatas tidak berlaku apabila perceraian terjadi atas kehendak isteri yang bersangkutan. Kecuali isteri yang bersangkutan meminta cerai karena dimadu, atau dengan perkataan lain, apabila isteri meminta bercerai karena dimadu, maka sesudah perceraian terjadi bekas isteri tersebut berhak atas bagian gaji tersebut.
d.      Apabila bekas isteri yang bersangkutan kawin lagi, maka pembayaran bagian gaji dihentikan terhitung mulai bulan berikutnya bekas isteri yang bersangkutan kawin lagi.
e.       Apabila bekas isteri yang bersangkutan kawin lagi, sedang semua anak mengikuti bekas isteri tersebut, maka 1/3 (sepertiga) gaji tetap menjadi hak anak tersebut yang diterimakan kepada bekas isteri yang bersangkutan.
f.       Apabila pada waktu perceraian sebagian anak mengikuti Pegawai Negeri Sipil dan sebagian lagi mengikuti bekas isteri dan bekas isteri kawin lagi dan anak tetap mengikutinya, maka bagian gaji yang menjadi hak anak itu diterimakan kepada bekas isteri.
Ketentuan tersebut, meskipun berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil, muatan ketentuannya dapat dilakukan kepada suami isteri yang bercerai, sementara mereka mempunyai anak. Boleh jadi teknik pelaksanaannya bisa berbeda, yang jelas nasib dan masa depan sepenuhnya menjadi tanggung jawab orang tuanya, hingga anak tersebut dapat mandiri atau kawin. Memang dalam prakteknya sulit dilakukan, namun Hakim-hakim Pengadilan kiranya dapat mencari alternatif hukumyang memadai guna melindungi anak-anak yang tidak beruntung. Sementara bagi Pegawai Negeri Sipil penyelesaiannya pembagian gaji di atas, diserahkan kepada pejabat yang bersangkutan atau pejabat lain yang ditunjuk. Penandatanganan gaji tersebut tetap berada pada Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.[11]

E.     Metode Penelitian
Dalam pembahasan ini mempergunakan metode penelitian eksploratoris deskriptif analitik, yakni mengumpulkan data-data kemudian di susun, dijelaskan, dibandingkan dan di analisa.
1.      Metode Pengumpulan Data
Dalam pembahasan proposal ini akan mempergunakan kepustakaan sebagai sumber pengkajian, yakni dengan jalan menelusuri berbagai buku-buku yang berkaitan dengan masalah tersebut untuk di kaji guna mencari landasan berfikir dalam memecahkan persoalan.
2.      Metode Penyajian Data
Penyajian data ditulis dalam bentuk proposal, setelah data diperoleh dianalisa terlebih dahulu dicatat dan ditulis melalui pengolahan data dengan tahap-tahap sebagai berikut :
a.       Editing (to edit artinya membetulkan) yaitu memeriksa atau meneliti data yang diperoleh untuk menjamin apakah sudah dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan kenyataan.
Selanjutnya di dalam editing dilakukan pembetulan data yang keliru, menambahkan data yang kurang, melengkapi data yang belum lengkap.
b.      Coding yaitu mengkategorikan data dengan cara memberi kode-kode atau simbol-simbol menurut  kriteria yang diperlukan.[12]
3.      Metode Analisis Data
Terhadap data-data yang telah terkumpul, selanjutnya dianalisa dengan metode dibawah ini :
1.     Metode deduktif yaitu metode berfikir dengan cara membawa data yang bersifat umum dalam aneka pembahasan yang bersifat khusus
2.     Metode komperatif yakni metode perbandingan antara pendapat kontrafersi atau kontradiktif, metode ini adalah sebagai pertimbangan dalam menentukan kesimpulan akhir.
F.     Daftar Pustaka
Abdul Haris,Fiqh Munakahat.STAIN KUDUS.Kudus.2008
Ahmad Rofiq.Hukum Islam di Indonesia.Raja Grafindo Persada.Jakarta.2000
Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil
Ronny Hanitijo Soemitro, S.H, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri  (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1988),
Zakiah Daradjat.Ilmu Fiqh jilid 2.Dana Bhakti Wakaf.Jakarta.1995
Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Rajawali Press, Jakarta, 2002.
Lexy J. Moeloeng, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda, Bandung, Cetakan 4, 1999.
Sayyid Sabiq, Fiqhusunnah, Darul fikri, Beirut jilid II 1976, dalam Djaman Nur, Fiqih Munakahah, Dina Utama 1993

Dapat didownload disini


[1] Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil
[2]  Ahmad Rofiq.Hukum Islam di Indonesia.Raja Grafindo Persada.Jakarta.2000.hlm 60
[3] Zakiah Daradjat.Ilmu Fiqh jilid 2.Dana Bhakti Wakaf.Yogyakarta.1955.hlm 37
[4] Op.Cit. hlm 72
[5] Ibid.hlm 193-194
[6] Ahmad Rofiq.Hukum Islam di Indonesia.Raja Grafindo Persada.Jakarta.2000.hlm 60

[7] Abdul Haris,Fiqh Munakahat.STAIN KUDUS.Kudus.2008.hlm:
[8] Op.Cit.hlm 314-316
[9] Ibid.hlm:
[10]Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil

[11] Op.Cit.Hlm:
[12]Ronny Hanitijo Soemitro, S.H, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri  (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1988),hlm 64.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar