A.
Latar Belakang Masalah
Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan yang Maha Esa.[1] Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan atau akad
yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah
ibadah.[2] Perkawinan
menurut sebagian Fuqaha ialah Aqad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan
hubungan kelamin dengan lafad nikah atau ziwaj atau semakna keduanya. Tegasnya,
Perkawinan ialah Suatu Aqad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin
antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup
berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih saying dengan cara yang
diridhai Allah SWT.[3]
Perkawinan merupakan salah satu perintah
agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena dengan Perkawinan,
dapat mengurangi maksiat penglihatan, memelihara diri dari perbuatan zina. Oleh
karena itu, bagi mereka yang berkeinginan untuk menikah, sementara perbekalan
untuk memasuki perkawinan belum siap, dianjurkan berpuasa. Dengan berpuasa,
diharapkan dapat membetengi diri dari perbuatan tercela yang sangat keji yaitu
perzinaan.
Kalau pelaksanaan perkawinan itu merupakan
pelaksanaan hukum agama, maka perlu diingat bahwa dalam melaksanakan perkawinan
itu oleh agama ditentukan unsur-unsurnya yang menurut istilah hukumnya disebut
rukun-rukun dan masing-masing rukun memerlukan syarat-syarat sahnya. Adapun
rukun perkawinan antara lain: dua orang yang saling melakukan aqad, perkawinan
yakni mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, adanya wali, adanya 2 orang
saksi serta dilakukan dengan shighat tertentu. Rukun dan syarat-syarat
perkawinan wajib dipenuhi, apabila tidak dipenuhi maka perkawinan yang
dilangsungkan tidak sah. Disebutkan dalam kitab al-fiqh'ala al- Mazahib al-
Arba' ah: "Nikah fazed yaitu nikah yang tidak memenuhi syarat-syaratnya,
sedangkan nikah batil adalah nikah yang tudak memenuhi rukunnya".[4]
Perkawinan sebagai perbuatan hukum antara
lain suami dan isteri, bukan saja bermakna untuk merealisasikan ibadah
kepadaNya, tetapi sekaligus menimbulkan akibat hukum keperdataan antara
keduanya. Namun demikian, karena tujuan perkawinan yang begitu mulia yaitu
membina keluarga bahagia, kekal, abadi berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa,
maka perlu diatur hak dan kewajiban suami dan isteri masing-masing. Apabila hak
dan kewajiban masing-masing suami dan isteri terpenuhi, maka dambaan
suami-isteri dalam bahtera rumah tangga dapat terwujud, didasari rasa cinta dan
kasih sayang. Masalah hak dan kewajiban suami-isteri dalam UU perkawinan diatur
didalam Bab VI pasal 30 sampai pasal 34, sementara dalam kompilasi hukum islam
diatur dalam Bab XII pasal 77 sampai dengan pasal 84, pasal 30 UU perkawinan
menyatakan: "Suami Isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan
rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat". Dalam
rumusan redaksi yang berbeda kompilasi hukum islam pasal 77 ayat 1 berbunyi:
"Suami Isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga
yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat".
Pemberiaan yang telah diberikan suami
kepadanya istrinya apabila karena sesuatu dan lain, mereka berpisah, maka tidak
seyogjanya suami menarik kembali pemberiaannya. Perkawinan dalam islam
dianjurkan, agar dapat berlangsung abadi, tanpa dibayangi oleh perceraian.
Karena perceraian meski merupakan jalan keluar yang halal, ia sangat dibenci
oleh Allah.[5]
Berangkat dari permasalahan tersebut penulis
tertarik untuk mengkaji lebih dalam masalah tersebut yang tertuang dalam sebuah
judul: "Efektifitas PP Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Hak Istri Setelah
Diceraikan Oleh Suami Yang Berstatus PNS".
B.
Penegasan Istilah
Agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap
judul yang dibahas maka lebih jelahnya jika diuraikan pengertian judul sebagai
berikut :
1.
Efektifitas
Efektivitas adalah pemanpaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah
tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah
pekerjaan tepat pada waktunya.
2. Perpu No.
10 tahun 1983
Perpu No.10 tahun 1983 adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil
3. hak istri
Hak istri sesuatu hal yang didapatkan dari suaminya. Apabila hak tersebut
tidak didapatkan dari suaminya maka seorang istri tersebut bisa menuntutnya
sebagaimana isi dalam sighot ta’lik talak.
4. Setelah
perceraian
Setelah perceraian adalah setelah dikeluarkannya putusan pengadilan
5. Oleh
Kata penghubung untuk menandai pelaku
6. Suami
Suami adalah pemimpin dalam rumah tangga
7. Yang
Yang adalah kata untuk menyatakan
bahwa kata atau kalimat yg berikut diutamakan atau dibedakan dr yg lain
8. Berstatus
Berstatus adalah mempunyai status dalam suatu kedudukan
9. Pegawai negeri
sipil
Pegawai negeri sipil adalah Pengertian Pegawai Negeri adalah warga
negara RI yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat
yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi
tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
C.
Rumusan Masalah
Berdasarkan Latarbelakang diatas atau alasan
pemberian judul, maka penulis rumuskan pokok masalah dari penelitian ini
sebagai berikut :
- Apakah pengertian dan macam-macam perceraian itu ?
- Bagaimanakah Hak istri bilamana istri setelah diceraikan oleh suami yang berstatus PNS didasarkan atas PP Nomor 10 Tahun 1983 itu nikah lagi ?
- Apa saja syarat-syarat seorang istri bisa diceraikan oleh suami yang berstatus PNS yang didasarkan atas PP Nomor 10 Tahun 1983 ?
- Bagaimanakah Efektifitas PP Nomor 10 Tahun 1983 tentang Hak istri yang diceraikan oleh suami yang berstatus PNS ?
D.
Tujuan penelitian dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
Efektifitas PP Nomor 10 Tahun 1983 tentang Hak Istri setelah diceraikan oleh suami yang berstatus
PNS.
Adapun kegunaan yang diharapkan dari hasil
penelitian ini adalah :
- Untuk mengetahui hak istri bilamana istri setelah diceraikan oleh suami yang berstatus PNS yang didasarkan atas PP Nomor 10 Tahun 1983
- Untuk mengetahui pengertian dan macam-macam perceraian
- Untuk mengetahui syarat-syarat seorang istri bisa diceraikan oleh suami yang berstatus PNS didasarkan atas PP Nomor 10 Tahun 1983
- Untuk mengetahui Efektifitas PP Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Hak Istri setelah diceraikan oleh suami yang berstatus PNS Nomor 10 Tahun 1983
E. Manfaat Penelitian
Bila tujuan penelitian dapat
tercapai maka hasil penelitian akan memiliki manfaat praktis dan teoritis
1. Manfaat Praktis
a. Menambah
khasanah ilmu pengetahuan khususnya dibidang perundang-undangan.
b.
Menambah pengetahuan dalam hukum islam tentang perkawinan
2. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui tentang Efektifitas PP Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Hak Istri
Setelah Diceraikan Oleh Suami Yang Berstatus PNS".
F. Tinjauan
Pustaka
Pada Prinsipnya tujuan perkawinan menurut UU
Nomor 1 Tahun 1974 membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Pasal 1
menegaskan: "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang
berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Untuk itu,
penjelasan umum, poin 4 huruf a menyatakan, Suami istri perlu saling membantu
dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiaannya membantu
dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Karena itu, UU ini juga
menganut asas atau prinsip mempersukar terjadinya perceraian. Untuk
memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta dilakukan di
depan sidang pengadilan.
Dalam Islam perceraian prinsipnya dilarang,
ini dapat dilihat pada isyarat Rasulullah SAW. Bahwa talak atau perceraian
adalah perbuatan halal yang dibenci oleh Allah.
اَبْغَضُ اْلحَلاَلِ اِلَى
اللهِ الطَّلاَقُ (رواه
ابوداودوابنى ما جه و الحا كم)
" Sesuatu Perbuatan yang halal yang
paling dibenci oleh Allah adalah talak (perceraian) (H.R. Abu Dawud, Ibn Majah,
dan Al- Hakim, dari Ibn 'Umar).
Karena itu, isyarat tersebut menunjukkan
bahwa talak atau perceraian, merupakan alternatif terakhir, sebagai "pintu
darurat" yang boleh ditempuh, manakala bahtera kehidupan rumah tangga
tidak dapat lagi dipertahankan keutuhan dan kesinambungannya. Sifatnya sebagai
alternatif terakhir, Islam menunjukkan agar sebelum terjadi talak atau
perceraian, ditempuh usaha-usaha perdamaian antara kedua belah pihak, baik
melalui hakam (arbitrator) dari kedua belah pihak, atau melalui
langkah-langkah seperti akan diuraikan.
Setidaknya ada empat kemungkinan yang terjadi
dalam kehidupan rumah tangga, yang dapat memicu timbulnya keinginan untuk
memutus atau terputusnya perkawinan.
- Terjadinya nusyuz dari pihak isteri
Adapun petunjuk mengenai langkah-langkah
menghadapi isteri melakukan nusyuz, surat
an Nisa' 4:34 menjelaskan
:
ÓÉL»©9$#ur tbqèù$srB Æèdyqà±èS ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ÒyJø9$# £`èdqç/ÎôÑ$#ur (
÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& xsù (#qäóö7s? £`Íkön=tã ¸xÎ6y 3
¨bÎ) ©!$# c%x. $wÎ=tã #ZÎ62 ÇÌÍÈ
"Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
Petunjuk tersebut apabila dirinci, dapat
dikemukakan sebagai berikut:
a.
Isteri diberi nasehat tentang
berbagai kemungkinan negatif dan positifnya (al- tarhib wa al- targib),
dari tindakannya itu, terlebih apabila sampai terjadi perceraian, dan yang
terutama agar kembali lagi berbaikan dengan suaminya.
b.
Apabila usaha pertama berupa pemberian nasehat
tidak berhasil, langkah kedua adalah memisahkan tempat tidur isteri dari tempat
tidur suami, meski masih dalam satu rumah. Cara ini dimaksudkan, agar dalam
" kesendirian tidurnya itu " ia memikirkan untung dan ruginya dengan
segala akibatnya dari tindakannya itu.
c.
Apabila langkah kedua tersebut
tidak juga dapat mengubah pendirian si isteri untuk nusyuz, maka langkah
ketiganya adalah memberi pelajaran, atau dalam bahasa Al- Qur'an memukulnya.
Para mufasir menafsirkan dengan memukul yang tidak melukai, atau yang lebih
tepat adalah mendidiknya.
- Terjadinya nusyuz dari pihak suami
Dalam surat
An-Nisa' 4:128 dinyatakan :
ÈbÎ)ur îor&zöD$# ôMsù%s{ .`ÏB $ygÎ=÷èt/ #·qà±çR ÷rr& $ZÊ#{ôãÎ) xsù yy$oYã_ !$yJÍkön=tæ br& $ysÎ=óÁã $yJæhuZ÷t/ $[sù=ß¹ 4
ßxù=Á9$#ur ×öyz 3
ÏNuÅØômé&ur Ú[àÿRF{$# £x±9$# 4
bÎ)ur (#qãZÅ¡ósè? (#qà)Gs?ur cÎ*sù ©!$# c%x. $yJÎ/ cqè=yJ÷ès? #ZÎ6yz ÇÊËÑÈ
"
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari
suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia
itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik
dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah
adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan".
Dalam " Al- Qur'an dan terjemahannya
" terdapat keterangan bahwa jalan yang ditempuh apabila suami nusyuz
seperti acuh tak acuh, tidak mau menggauli dan tidak memenuhi kewajibannya,
maka upaya perdamaian bisa dilakukan dengan cara isteri merelakan haknya
dikurangi untuk sementara agar suaminya bersedia kembali kepada isterinya
dengan baik.
Menurut Sayuti Thalib, ayat ini dijadikan
dasar untuk merumuskan tata cara dan syarat-syarat bagi taklik talak sebagai
bentuk perjanjian perkawinan. Maksudnya untuk mengantisipasi dan sekaligus
sebagai cara untuk mrnyelesaikan apabila suami melakukan nusyuz. Lebih lanjut
Thalib menjelaskan :
Ada
beberapa pendapat mengenai hukum mengadakan perjanjian dalam perkawinan yang
dirumuskan dalam bentuk taklik talak itu yang terlihat sebagai berikut :
1.
Menurut Al- Qur'an berupa anjuran
dengan kata-kata dalam Al- Qur'an itu berbunyi : "Seyogyanyalah diadakan
perjanjian dan perjanjian adalah baik".
2.
Menurut umumnya perumusan fiqh
hukumnya adalah kebolehan atau ibadah.
3.
Sedangkan di Indonesia taklik
talak itu selalu dimuat dalam surat
(pendaftaran) akad nikah perkawinan, sehingga seolah-olah telah diperlakukan
sebagai suatu yang wajib, yang biasa. Yang menjadi sesuatu yang selalu ada.
Diusahakan menjadi lebih jelas dari keadaan sekarang yang seolah-olah menjadi
soal bagi pihak suami saja sedangkan isterinya dianggap telah setuju dengan
sendirinya saja.
- Terjadinya perselisihan atau percekcokan antara suami dan isteri
Dalam Al- Qur'an disebut syiqaq. Dalam hal
ini Al- Qur'an surat
An-Nisa' 4:35 memberi
petunjuk :
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yÌã $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqã ª!$# !$yJåks]øt/ 3
¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã #ZÎ7yz ÇÌÎÈ
"
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah
seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya
Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal".
Penunjukkan hakam dari kedua belah pihak ini
diharapkan dapat mengadakan perdamaian dan perbaikan untuk menyelesaikan
persengketaan diantara dua belah pihak suami dan isteri. Apabila karena sesuatu
hal, hakam yang ditunjuk tidak dapat melaksanakan tugasnya, dicoba lagi dengan
menunjuk hakam lainnya. Dalam hal ini, di Indonesia dikenal sebuah badan penasehat
perkawinan dan penyelesaian perceraian (BP4) yang tugas dan fungsinya
menjalankan tugas hakam (arbitrator) untuk mendamaikan suami isteri yang
bersengketa, atau dalam hal-hal tertentu memberi nasehat calon suami dan isteri
yang merencanakan perkawinan. Karena keterlibatan BP4 ini masuk dalam prosedur
teknis berperkara dalam perceraian.
- Terjadinya salah satu pihak melakukan perbuatan zina atau fakhisyah, yang menimbulkan saling tuduh menuduh antara keduanya.
Cara penyelesaiannya adalah membuktikan tuduhan
yang didakwakan, dengan cara li'an. Li'an sesungguhnya telah memasuki "gerbang"
putusnya perkawinan, dan bahkan untuk selama-lamanya karena akibat li'an adalah
terjadinya talak ba'in kubra.
Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
menyatakan, Perkawinan dapat putus karena:
a.
Kematian
b.
Perceraian
c.
Atas keputusan pengadilan[6]
Dilihat dari jumlahnya, talak dibagi menjadi
:
1.
Talak Raj'i yaitu talak satu dan
kedua, dimana suami berhak merujuk selama isteri dalam masa iddah.
2.
Talak Ba'in adalah talak yang
tidak memberi hak untuk merujuk bagi bekas suami terhadap bekas isterinya,
untuk mengembalikan bekas isteri kedalam ikatan perkawinan dengan bekas suami
harus melalui aqad nikah baru, lengkap dengan rukun dan syaratnya. Talak Ba'in,
ada dua macam :
1) Talak ba'in sughra yaitu talak yang tidak boleh dirujuk tapi
boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah. Talak
ini meliputi :
a.
Talak yang terjadi qabla al-dukhul
Allah berfirman :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) ÞOçFóss3tR ÏM»oYÏB÷sßJø9$# ¢OèO £`èdqßJçGø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& Æèdq¡yJs? $yJsù öNä3s9 £`Îgøn=tæ ô`ÏB ;o£Ïã $pktXrtF÷ès? (
£`èdqãèÏnGyJsù £`èdqãmÎh| ur %[n#u| WxÏHsd ÇÍÒÈ
"Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian
kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib
atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah
mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya".
Yang dimaksud dengan mut'ah disini adalah
pemberian untuk menyenangkan hati isteri yang diceraikan sebelum dicampuri.
b.
Talak dengan tebusan atau khuluk
Khuluk adalah dengan tebusan dari isteri
kepada suami. Allah berfirman :
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4
wur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3t $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sã «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4
£`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjtÎ/ Îû y7Ï9ºs ÷bÎ) (#ÿrß#ur& $[s»n=ô¹Î) 4
£`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`Íkön=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4
ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`Íkön=tã ×py_uy 3
ª!$#ur îÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ
"Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru', tidak boleh
mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan
kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".
c.
Talak dengan putusan
pengadilan(fasakh)
2) Talak ba'in Kubro yaitu talak yang terjadi untuk ketiga kalinya.
Talak ini suami tidak dapat rujuk dan menikah kembali dengan bekas isterinya,
kecuali bekas isteri telah menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi
perceraian ba'da al-dukhul dan habis masa iddahnya.
Dilihat dari masa kebolehan menjatuhkan
talak, ada dua macam :
- Talak sunny yaitu talak yang dibolehkan yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dikumpuli dalam waktu suci tersebut.
- Talak bid'I yaitu talak yang dilarang yang dijatuhkan terhadap isteri pada waktu haid atau isteri suci tapi sudah dikumpuli pada waktu suci tersebut.[7]
Isteri yang dicerai suaminya ada beberapa
kemungkinan waktu tunggu, sebagai berikut :
- Dalam keadaan hamil
Apabila
isteri dicerai suaminya dalam keadaan hamil masa iddahnya sampai ia melahirkan
kandungannya.
- Dalam keadaan tidak hamil
a.
Apabila isteri diceraikan sebelum
terjadi hubungan kelamin maka tidak berlaku masa 'iddah baginya.
b.
Apabila ia dicerai suaminya
setelah terjadi hubungan kelamin (dukhul):
-
Bagi yang masih datang bulan,
waktu tunngunya ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari.
Firman Allah menegaskan :
-
Bagi yang tidak atau belum
berdatang bulan masa 'iddahnya tiga bulan atau 90 hari. Tidak datang bulan
disini maksudnya adalah karena wanita tersebut sudah memasuki masa bebas haid. Dasarnya
firman Allah :
Ï«¯»©9$#ur z`ó¡Í³t z`ÏB ÇÙÅsyJø9$# `ÏB ö/ä3ͬ!$|¡ÎpS ÈbÎ) óOçFö;s?ö$# £`åkèE£Ïèsù èpsW»n=rO 9ßgô©r& Ï«¯»©9$#ur óOs9 z`ôÒÏts 4
àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èÒt £`ßgn=÷Hxq 4
`tBur È,Gt ©!$# @yèøgs ¼ã&©! ô`ÏB ¾ÍnÍöDr& #Zô£ç ÇÍÈ
"Dan
perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada
Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya".
-
Bagi isteri yang pernah haid
sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui maka iddahnya tiga
kali waktu suci (pasal 153 ayat 5 KHI).
-
Dalam keadaan pada ayat 5 tersebut
bukan karena menyusui, maka 'iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam
waktu satu tahun tersebut ia berhaid kembali, maka 'iddahnya menjadi tiga kali
suci. Ketentuan ini dipahami dari isyarat firman Allah surat al-Baqarah, 2:240; meski sesungguhnya
ayat ini bagi isteri yang ditinggal mati suaminya.
tûïÏ%©!$#ur cöq©ùuqtGã öNà6YÏB tbrâxtur %[`ºurør& Zp§Ï¹ur OÎgÅ_ºurøX{ $·è»tG¨B n<Î) ÉAöqyÛø9$# uöxî 8l#t÷zÎ) 4
÷bÎ*sù z`ô_tyz xsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ Îû $tB Æù=yèsù þÎû ÆÎgÅ¡àÿRr& `ÏB 7$rã÷è¨B 3
ª!$#ur îÍtã ×LìÅ6ym ÇËÍÉÈ
"Dan
orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri,
hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga
setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika
mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang
meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[8]
Bila perkawinan putus karena perceraian, maka
bekas suami wajib :
1. Memberikan mut'ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa
uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qabla al-dukhul.
2. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isterinya selama
dalam 'iddah, kecuali bekas isteri telah ditalak ba'in atau nusyuz dan dalam
keadaan tidak hamil.
3. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separo
apabila qabla al-dukhul.
4. Memberikan biaya hadlanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai
umur 21 tahun.[9]
Disini
akan dibahas apabila yang melakukan perceraian adalah seorang pegawai negeri
sipil. Pegawai negeri sipil adalah unsur aparatur Negara, abdi Negara
dan abdi masyarakat yang harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam
tingkah laku, tindakan, dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Adapun Syarat-syarat isteri diceraikan oleh
suami yang berstatus PNS yang didasarkan atas PP Nomor 10 Tahun 1983.
1. Dalam Pasal 10 ayat 2
Syarat Alternatif :
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan
2. Dalam Pasal 10 ayat 3
1.
Ada persetujuan tertulis dari isteri
2.
Pegawai negeri sipil pria yang
bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari
seorang isteri dan anak-anaknya yang dibuktikan denagn surat keterangan pajak penghasilan
3.
Ada jaminan tertulis dari pegawai negeri
sipil yang bersangkutan bahwa ia akan adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anaknya.[10]
Kemudian
apabila perceraian atas kehendak pegawai negeri sipil pria maka ia wajib
menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas isteri dan anak-anaknya
(pasal 8 PP No 10 Tahun 1983) dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Apabila anak mengikuti bekas isteri, maka pembagian gaji
ditetapkan sebagai berikut :
Sepertiganya gaji untuk bekas isterinya: Sepertiga
gaji untuk anaknya yang diterimakan kepada bekas isterinya. Apabila perkawinan
tidak menghasilkan anak, maka gaji dibagi dua, yaitu setenagah untuk pegawai
negeri sipil pria yang bersangkutan dan setengah untuk bekas isterinya.
b. Apabila anak mengikuti pegawai negeri sipil pria yang
bersangkutan, maka pembagian gaji ditetapkan sebagai berikut :
Sepertiga gaji untuk pegawai negeri sipil
pria yang bersangkutan: Sepertiga gaji untuk bekas isterinya. Sepertiga gaji
untuk anaknya yang diterimakan kepada pegawai negeri sipil pria yang
bersangkutan.
c. Apabila sebagian anak mengikuti pegawai negeri sipil yang
bersangkutan dan sebagian lagi mengikuti bekas isteri, maka sepertiga gaji yang
menjadi hak anak itu menurut jumlah anak. Umpamanya seorang pegawai negeri
sipil bercerai dengan isterinya, pada waktu perceraian terjadi mereka mempunyai
tiga orang anak, yang seorang mengikuti pegawai negeri sipil yang bersangkutan
dan yang dua orang mengikuti bekas isteri. Dalam hal sedemikian, maka bagian
gaji yng menjadi hak anak itu dibagi sebagai berikut :
1. 1/3 (sepertiga) dari 1/3 (sepertiga) gaji: 1/9 (sepersembilan)
gaji diterimakan kepada Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan
2. 2/3 (dua pertiga) dari 1/3 (sepertiga) gaji: 2/9 (dua
persembilan) gali diterima kepada bekas isterinya
Hak atas bagian gaji sebagai tersebut diatas tidak berlaku
apabila perceraian terjadi atas kehendak isteri yang bersangkutan. Kecuali
isteri yang bersangkutan meminta cerai karena dimadu, atau dengan perkataan
lain, apabila isteri meminta bercerai karena dimadu, maka sesudah perceraian
terjadi bekas isteri tersebut berhak atas bagian gaji tersebut.
d. Apabila bekas isteri yang bersangkutan kawin lagi, maka
pembayaran bagian gaji dihentikan terhitung mulai bulan berikutnya bekas isteri
yang bersangkutan kawin lagi.
e. Apabila bekas isteri yang bersangkutan kawin lagi, sedang semua
anak mengikuti bekas isteri tersebut, maka 1/3 (sepertiga) gaji tetap menjadi
hak anak tersebut yang diterimakan kepada bekas isteri yang bersangkutan.
f. Apabila pada waktu perceraian sebagian anak mengikuti Pegawai
Negeri Sipil dan sebagian lagi mengikuti bekas isteri dan bekas isteri kawin
lagi dan anak tetap mengikutinya, maka bagian gaji yang menjadi hak anak itu
diterimakan kepada bekas isteri.
Ketentuan tersebut, meskipun berlaku bagi
Pegawai Negeri Sipil, muatan ketentuannya dapat dilakukan kepada suami isteri
yang bercerai, sementara mereka mempunyai anak. Boleh jadi teknik
pelaksanaannya bisa berbeda, yang jelas nasib dan masa depan sepenuhnya menjadi
tanggung jawab orang tuanya, hingga anak tersebut dapat mandiri atau kawin.
Memang dalam prakteknya sulit dilakukan, namun Hakim-hakim Pengadilan kiranya
dapat mencari alternatif hukumyang memadai guna melindungi anak-anak yang tidak
beruntung. Sementara bagi Pegawai Negeri Sipil penyelesaiannya pembagian gaji
di atas, diserahkan kepada pejabat yang bersangkutan atau pejabat lain yang
ditunjuk. Penandatanganan gaji tersebut tetap berada pada Pegawai Negeri Sipil
yang bersangkutan.[11]
E. Metode Penelitian
Dalam pembahasan ini mempergunakan metode penelitian
eksploratoris deskriptif analitik, yakni mengumpulkan data-data kemudian di
susun, dijelaskan, dibandingkan dan di analisa.
1. Metode
Pengumpulan Data
Dalam
pembahasan proposal ini akan mempergunakan kepustakaan sebagai sumber
pengkajian, yakni dengan jalan menelusuri berbagai buku-buku yang berkaitan
dengan masalah tersebut untuk di kaji guna mencari landasan berfikir dalam
memecahkan persoalan.
2. Metode
Penyajian Data
Penyajian
data ditulis dalam bentuk proposal, setelah data diperoleh dianalisa terlebih
dahulu dicatat dan ditulis melalui pengolahan data dengan tahap-tahap sebagai
berikut :
a. Editing (to
edit artinya membetulkan) yaitu memeriksa atau meneliti data yang diperoleh
untuk menjamin apakah sudah dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan
kenyataan.
Selanjutnya di dalam editing
dilakukan pembetulan data yang keliru, menambahkan data yang kurang, melengkapi
data yang belum lengkap.
b. Coding
yaitu mengkategorikan data dengan cara memberi kode-kode atau simbol-simbol
menurut kriteria yang diperlukan.[12]
3. Metode
Analisis Data
Terhadap
data-data yang telah terkumpul, selanjutnya dianalisa dengan metode dibawah ini
:
1. Metode
deduktif yaitu metode berfikir dengan cara membawa data yang bersifat umum
dalam aneka pembahasan yang bersifat khusus
2. Metode komperatif
yakni metode perbandingan antara pendapat kontrafersi atau kontradiktif, metode
ini adalah sebagai pertimbangan dalam menentukan kesimpulan akhir.
F. Daftar Pustaka
Abdul
Haris,Fiqh Munakahat.STAIN KUDUS.Kudus.2008
Ahmad
Rofiq.Hukum Islam di Indonesia.Raja Grafindo Persada.Jakarta.2000
Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1983
tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil
Ronny Hanitijo Soemitro, S.H, Metodologi
Penelitian Hukum Dan Jurimetri (Jakarta:Ghalia
Indonesia, 1988),
Zakiah Daradjat.Ilmu Fiqh jilid 2.Dana
Bhakti Wakaf.Jakarta.1995
Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Rajawali Press,
Jakarta, 2002.
Lexy J. Moeloeng, Metode Penelitian
Kualitatif, Remaja Rosda, Bandung, Cetakan 4, 1999.
Sayyid
Sabiq, Fiqhusunnah, Darul fikri, Beirut jilid II 1976, dalam Djaman Nur,
Fiqih Munakahah, Dina Utama 1993
Dapat didownload disini
[1] Peraturan
Pemerintah No.10 Tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai
negeri sipil
[3] Zakiah Daradjat.Ilmu
Fiqh jilid 2.Dana Bhakti Wakaf.Yogyakarta.1955.hlm 37
[4]
Op.Cit. hlm 72
[5] Ibid.hlm
193-194
[6] Ahmad Rofiq.Hukum
Islam di Indonesia.Raja Grafindo Persada.Jakarta.2000.hlm 60
[7] Abdul Haris,Fiqh
Munakahat.STAIN KUDUS.Kudus.2008.hlm:
[8] Op.Cit.hlm
314-316
[9] Ibid.hlm:
[10]Peraturan
Pemerintah No.10 Tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai
negeri sipil
[11]
Op.Cit.Hlm:
[12]Ronny Hanitijo Soemitro, S.H, Metodologi
Penelitian Hukum Dan Jurimetri (Jakarta:Ghalia
Indonesia, 1988),hlm 64.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar