A. Pengertian Hukum Pidana
Pengertian
hukum pidana secara tradisional adalah “Hukum
yang memuat peraturan-peraturan yang mengandung keharusan dan larangan terhadap
pelanggarnya yang diancam dengan hukuman berupa siksa badan. Pengertian
lain adalah, “Hukum pidana adalah
peraturan hukum tentang pidana”. Kata “pidana” berarti hal yang “dipidanakan”,
yaitu hal yang dilimpahkan oleh instansi yang berkuasa kepada seorang oknum
sebagai hal yang tidak enak dirasakan dan juga hal yang tidak dilimpahkan
sehari-hari.
Berkenaan
dengan pengertian dari hukum pidana, C.S.T. Kansil juga memberikan
definisi sebagai berikut
“Hukum
pidana adalah hukum yang mengatur pelanggaran-pelanggaran dan
kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan yang diancam dengan
hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan, selanjutnya ia
menyimpulkan bahwa hukum pidana itu bukanlah suatu hukum yang mengandung
norma-norma baru, melainkan hanya mengatur pelanggaran-pelanggaran dan
kejahatan-kejahatan terhadap norma-norma hukum mengenai kepentingan umum“.
Adapun yang termasuk kepentingan
umum menurut C.S.T kansil adalah:
a) Badan
peraturan perundangan negara, seperti negara, lembaga-lembaga negara, pejabat
negara, pegawai negeri, undang-undang, peraturan pemerintah dan sebagainya.
b)
Kepentingan umum tiap manusia yaitu, jiwa, raga, tubuh, kemerdekaan,
kehormatan, dan hak milik/harta benda.
B. Ruang Lingkup Hukum Pidana
Dilihat dari
ruang lingkupnya hukum pidana
dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Hukum pidana tertulis dan hukum
pidana tidak tertulis,
2. Hukum pidana sebagai hukum
positif,
3. Hukum pidana sebagai bagian dari
hukum publik,
4. Hukum pidana objektif dan hukum
pidana subjektif,
5. Hukum pidana material dan hukum
pidana formal,
6. Hukum pidana kodifikasi dan hukum
pidana tersebar,
7. Hukum pidana umum dan hukum
pidana khusus,
8. Hukum pidana umum (nasional) dan
hukum pidana setempat.
Hukum pidana
objektif (ius
peonale) adalah seluruh garis hukum mengenai tingkah laku yang diancam dengan pidana jenis dan macam pidana,
serta bagaimana itu dapat dijatuhkan dan dilaksakan pada waktu dan batas daerah
tertentu. Artinya, seluruh warga dari daerah (hukum) tersebut wajib menaati
hukum pidana dalam arti objektif tersebut.
Hukum pidana objektif (ius peonale)
ialah semua peraturan yang mengandung/memuat larangan/ancaman dari peraturan
yang diadakan ancaman hukuman. Hukum pidana objektif ini terbagi menjadi dua,
yaitu:
1. Hukum
pidana material, yaitu peraturan-peraturan yang mengandung perumusan:
perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, siapa yang dapat dihukum, hukum apakah
yang dapat dijatuhkan.
2. Hukum
pidana formal, yaitu disebut juga sebagai hukum acara, memuat
peraturan-peraturan bagaimana cara negara beserta alat-alat perlengkapannya
melakukan hak untuk menghukum (mengancam, menjatuhkan, atau melaksanakan).
Hukum pidana subjektif (ius
puniendi) merupakan hak dari penguasa untuk mengancam suatu pidana kepada
suatu tingkah laku sebagaimana digariskan dalam hukum pidana objektif,
mengadakan penyidikkan, menjatuhkan pidana, dan mewajibkan terpidana untuk
melaksanakan pidana yang dijatuhkan. Persoalan mengenai apakah dasarnya atau
darimana kekuasaan penguasa tersebut, jawabannya menurut E.Y Kanter terletak
pada falsafah dari hukum pidana.
Hukum pidana
umum (alegemen
strafrecht) adalah hukum pidana yang berlaku untuk tiap penduduk, kecuali
anggota militer, nama lain dari hukum pidana umum adalah hukum pidana biasa
atau hukum pidana sipil (commune strafrecht). Akan tetapi dilihat dari
segi pengkodifikasiannya maka KUHP pun disebut sebagai hukum pidana umum,
dibanding dengan perundang-undangan lainnya yang tersebar.
Hukum pidana
khusus adalah
suatu peraturan yang hanya ditunjukkan kepada tindakkan tertentu (tindak pidana
subversi) atau golongan tertentu (militer) atau tindakkan tertentu, seperti
pemberantasan tindak pidana ekonomi, korupsi, dan lain-lain.
Menurut Samidjo, S.H. hukum pidana
khusus dapat disebut:
a. Hukum pidana militer,
Hukum pidana militer merupakan ketentuan-kententuan pidana yang tercantum
dalam KUHP militer atau disebut KUHPT, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Tentara dan dikenal juga KUHDT, Kitab Undang-undang Displin Tentara.
b. Hukum pidana fiskal (pajak),
Hukum pidana fiskal (pajak) merupakan ketentuan-ketentuan pidana yang tercatum
dalam undang-undang mengenai pajak.
c. Hukum pidana ekonomi,
Hukum pidana ekonomi merupakan ketentuan yang mengatur pelanggaran ekonomi
yang dapat mengganggu kepentingan umum.
d. Hukum pidana politik.
Hukum pidana politik merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur
kejahatan-kejahatan politik, misalnya menghianati rahasia negara, intervensi,
pemberontakan, sabotase.
Jika suatu
perbuatan termasuk dalam suatu aturan pidana umum, diatur pula dalam peraturan
pidana khusus, yang khusus itulah yang dikenakan, Adagium untuk itu adalah, “Lex
specialis derograt lex generalis” jadi, hukum pidana khusus lebih
diutamakan daripada hukum pidana umum. Hal dapat kita lihat pada KUHP nasional
yang ditentukan dalam pasal 63 ayat 2 KUHP dan pasal 103 KUHP.
C. Hubungan Hukum Pidana dengan Ilmu Lain.
Hukum pidana
adalah teori mengenai aturan-aturan atau norma-norma hukum pidana. Dalam ruang
lingkup sistem ajaran hukum pidana, yamg dinamakan disiplin hukum pidana
sebenarnya mencakup ilmu hukum pidana, politik hukum pidana, dan filsafat hukum
pidana. Ilmu hukum pidana mencakup beberapa cabang ilmu, ilmu hukum pidana
merupakan mencakup ilmu-ilmu sosial dan budaya. Ilmu-ilmu hukum pidana tersebut
mencakup ilmu tentang kaedah dan ilmu tentang pengertian yang keduanya disebut
sebagai dogmatika hukum pidana serta ilmu tentang kenyataan.
Politik
hukum pidana mencakup
tindakkan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai tersebut didalam
kenyataan. Politik hukum pidana merupakan pemilihan terhadap nilai-nilai untuk
mencegah terjadinya delikuensi dan kejahatan.
Filsafat
hukum pidana pada
hakekatnya merenungkan nilai-nilai hukum pidana, berusaha merumuskan dan
menyerasikan nilai-nilai yang berpasangan, tetapi yang mungkin bertentangan.
Objek dalam
dogmatik hukum pidana adalah hukum pidana positif, yang mencakup kaidah-kaidah
dan sistem sanksi. Ilmu tersebut bertujuan untuk mengadakan analisis dan
sistematisasi kaidah-kaidah hukum pidana untuk kepentingan penerapan yang
benar. Ilmu tersebut juga berusaha untuk menemukan asas-asas hukum pidana yang
menjadi dasar dari hukum pidana positif., yang kemudian menjadi patokan bagi
perumusan serta penyusunan secara sistematis.
Sosiologi
hukum pidana memusatkan
perhatian pada sebab-sebab timbulnya peraturan-peraturan pidana tertentu, serta
efektifitasnya di dalam masyarakat. Oleh karena itu ruang lingkup sosiologi
hukum pidana sebagai berikut:
a. Proses mempengaruhi antara
kaidah-kaidah hukum pidana dan warga masyarakat;
b. Efek dari proses kriminalisasi
serta deskriminalisasi;
c. Identifikasi terhadap mekanisme
produk dari hukum pidana;
d. Identifikasi terhadap kedudukkan
serta peranan para penegak hukum;
e. Efek dari peraturan-peraturan
pidana terhadap kejahatan, terutama pola prilakunya.
Kriminologi merupakan
ilmu pengetahuan yang meneliti delikuensi dan kejahatan, sebagai suatu gejala
sosial. Jadi, ruang lingkupnya adalah proses terjadinya hukum pidana,
penyimpangan terhadap hukum atau pelanggarannya, dan reaksi terhadap
pelanggaran-pelanggaran tersebut. Kriminologi mencakup tiga bagian pokok yaitu:
a. Sosiologi hukum pidana yang meneliti
dan menganalisis kondisi-kondisi tempat hukum pidana berlaku;
b. Etiologi kriminal yang meneliti serta
mengadakan analisis terhadap sebab-sebab terjadinya kejahatan;
c. Penologi
yang ruang lingkupnya mencakup pengendalian terhadap kejahatan.
Kriminologi
merupakan teori tentang gejala hukum. Dari pengertian ini nampak adanya
hubungan antara hukum pidana dengan kriminologi bahwa keduanya sama-sama
bertemu dalam kejahatan, yaitu perbuatan/tingkah laku yang diancam pidana.
Adapun
perbedaan hukum pidana dan kriminologi terletak pada objeknya. Objek hukum
pidana menunjuk pada apa yang dipidana menurut norma-norma hukum pidana yang
berlaku. Sedangkan objek kriminologi tertuju pada manusia yang melanggar hukum
pidana dan kepada lingkungan manusia-manusia tersebut. Dengan demikian,
wajarlah bila batasan luas kedua objek ilmu itu tidak sama. Hal ini melahirkan
kejahatan sebagai objek hukum pidana dan kejahatan sebagai objek kriminologi.
Hukum pidana
memperhatikan kejahatan sebagai pristiwa pidana yang dapat mengancam tata
tertib masyarakat, serta kriminologi mempelajari kejahatan sebagai suatu gejala
sosial yang melibatkan individu sebagai manusia.
Dengan
demikian, hukum pidana melihat bahwa perbuatan melanggar ketentuan hukum pidana
disebut sebagai kejahatan, sedangkan kriminologi melihat bahwa perbuatan
bertentangan dengan hati nurani manusia disebut kejahatan.
Titik tolak
sudut pandang hukum pidana memiliki dua dimensi yaitu, unsur kesalahan dan
unsur melawan hukum. Demikian pula kriminologi memiliki dua dimensi, yaitu
faktor motif (mental, psikologi, penyakit, herediter) dan faktor sosial yang
memberikan kesempatan bergerak. Hukum pidana menekankan pada
pertanggungjawaban, sedangkan kriminologi menekankan pada accountabillity apakah
perbuatan tersebut selayaknya diperhitungkanpada pelaku, juga cukup
membahayakan masyarakat. Dalam kriminologi, unsur kesalahan tidak relevan.
Interaksi hukum pidana dan
kriminoligi disebabkan hal-hal berikut:
a.
Perkembangan hukum pidana akhir-akhir ini menganut sistem yang memberikan
kedudukkan penting bagi kepribadian penjahat dan menghubungkan dengan sifat dan
berat-ringannya (ukuran) pemidanaannya.
b. Sejak
dulu telah ada perlakuan khusus bagi kejahatan-kejahatan yang dilakukan
orang-orang gila dan anak-anak yang menyangkut perspektif-perspektif dan
pengertian-pengertiannya. Kriminologi terwujud sedemikian rupa dalam hukum
pidana sehingga Criminale science sekarang menghadapi problema-problema
dan tugas-tugas yang sama sekali baru dan berhubungan erat dengan kriminologi.
Kriminologi tidak tergantung pada perspektif-perspektif dan nilai-nilai hukum
pidana. Hubungan yang erat dengan kriminalitas merupakan syarat utama sehingga
berlakunya norma-norma hukum pidana dapat diawasi oleh kriminologi.
Dalam
hubungan dengan dogmatik hukum pidana, kriminologi memberikan kontribusinya
dalam menentukkan ruang lingkup kejahatan atau prilaku yang dapat dihukum.
II. HUKUM ACARA PERDATA
A. PENGERTIAN
Manusia
memiliki kebutuhan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya (bermasyarakat).
Tiap individu tersebut memiliki kepentingan, sehingga memungkinkan
terjadinya sengketa. Untuk menghindari gejala tersebut, maka dibutuhkan tata
tertib dengan membuat kaidah hukum yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakat,
yang apabila dilanggar, maka akan dikenakan sanksi.
Kepentingan
yang dimaksut tersebut adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata yang
diatur dalam hukum perdata materiil. Hukum materiil, baik tertulis maupun tidak
tertulis, merupakan pedoman bagi seluruh warga masyarakat dalam segala tingkah
lakunya di dalam pergaulan hidup, baik perseorangan, masyarakat, maupun dalam
bernegara, mengenai apa yang boleh dilakukan maupun yang tidak boleh dilakukan.
Ketentuan tersebut antara lain, “tidak boleh mencuri barang orang lain, tidak
boleh mengganggu hak orang lain, dan sebagainya”
Ketentuan
materil tersebut selain diketahui juga harus dilaksanakan. Agar peraturan
tersebut tidak hanya kata-kata saja, maka diperlukan sesuatu yang melaksanakan
atau menerapkan pelanggaran terhadap kaedah-kaedah materil tersebut, yaitu
ketentuan formil. Ketentuan formil adalah bentuk perundang-undangan yang akan
mengatur dan menetapkan tentang cara bagaimanakah melaksanakan hukum materil.
Ketentuan formil ini dikenal dengan hukum formil atau hukum acara. Hukum acara
perdata bertujuan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materil
Berdasarkan
hal tersebut, Hukum acara perdata pada umumnya tidak dibebani hak dan kewajiban
seperti termuat dalam hukum perdata materil, melainkan memuat aturan tentang
cara melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan kaidah-kaidah yang termuat
dalam hukum perdata materil, atau dengan kata lain menlindungi hak
perseorangan.
Menurut
Prof. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum acara perdata adalah peraturan hukum
yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil
dengan perantaraan hakim. Sehingga jelaslah bahwa hukum acara perdata ini
berisi rangkaian aturan tata cara bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan
cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk
melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata. Sehingga jika tanpa
hakim, maka tidak bisa disebut hukum acara perdata. Fungsi hukum acara perdata
adalah untuk melaksanakan hukum perdata materiil.
Sehingga
dapat disimpulan, objek hukum acara perdata ialah keseluruhan peraturan yang
bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materil
dengan perantaraan kekuasaan negara . Perantaraan kekuasaan negara adalah melalui
badan atau lembaga peradilan yang berdiri sendiri dan bebas dari pengaruh
siapaun atau lembaga apapun, yang memberikan keputusan yang mengikat bagi semua
pihak yang bertujuan mencegah eigenrichting (tindakan menghakimi
sendiri).
B.
SIFAT HUKUM
ACARA PERDATA:
-
Inisiatif berasal dari seseorang/beberapa
orang yang merasa haknya dilanggar
Penggugat adalah
orang yang merasa bahwa haknya dilanggar, sedangkan tergugat adalah orang yang
ditarik kemuka pengadilan karena ia dianggap melanggar hak penggugat.
Dalam hukum
acara perdata, inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak berada sepenuhnya pada
pihak yang berkepentingan, sehingga ada atau tidaknya suatu perkara, atau
diproses atau tidaknya, atau apakah suatu perkara atau tututan hak itu akan
diajukan atau tidak, berada pada pihak yang berkepentingan. Dalam hal ini
pemerintah (pengadilan/hakim) tidak dapat melakukan tindakan permulaan
(inisiatif) maupun memaksakan orang perseorangan yang merasa haknya dilanggar,
mengajukan tuntutan (hakim bersifat menunggu). Inisiatif (ada atau tidaknya
perkara) harus diambil oleh penggugat/para penggugat.
-
Hakim
tidak boleh menolak untuk memeriksa atau mengadili perkara yang diajukan ke
muka sidang dengan alasan apapun (Pasal 14 ayat 1 UU No.14 Tahun 1970), dan
kalau tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat atau hukum tidak
tertulis (Pasal 27 UU No.14 Tahun 1970), sehingga memungkinkan diberlakukannya
hukum adat.
-
Hakim bersifat
menunggu
Hakim
mengadili perkara yang diajukan, hanya menunggu, serta tidak memberika advice
untuk pihak lain mengajukan perkara.
-
Hakim Pasif
Pasif
disini adalah tidak meluaskan ruang lingkup gugatan.
-
Persidangan bersifat terbuka
Tujuannya
adalah sebagai kontrol persidangan, yang terdiri atas pengadilan, para pihak,
dan masyarakat.
-
Mendengar kedua belah pihak- Putusan harus disertai alasan-alasan
- Beracara dikenakan biaya
Kecuali
bagi orang yang tidak mampu. Ia dapat mengajukan ijin dengan tidak dikenakan
biaya (prodeo). Termuat dalam pasal. 237 H.I.R.
- Tidak
ada keharusan mewakilkan (pengacara), termuat dalam pasal 123 ayat (1) H.I.RC. Hukum acara perdata Positif:
Sampai
saat ini belum ada hukum acara perdata nasional seperti halnya hukum acara
perdata (KUHAP) sehingga masih berserakan dalam berbagai peraturan. Berdasarkan
Ketentuan Pasal 5 Undang-undang darurat No.1 tahun 1951, maka hukum acara
perdata yang berlaku di negara kita termuat didalam:
a.
Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR / Reglement Indonesia yang
diperbaharui, S. 1848 No.16, S.1941 No.44) untuk daerah Jawa dan Madura
b.
Rechtsreglement Buitengewesten (R.Bg. / Reglemen daerah Seberang, S.
1927 No.227) untuk daerah diluar jawa dan madura.
Sejarah
keberlakuan tersebut adalah politik devide et impera. Perbedaan
keduanya adalah H.I.R memiliki pasal yang sedikit sedangkan R.Bg memiliki pasal
yang lebih banyak dan rinci. Namun demikian, dalam kenyataan pelaksanaan hukum
oleh pengadilan dewasa ini, sebagian besar digunakan Reglemen indonesia yang
diperbarui atau RIB (HIR) bagi seluruh Indonesia
Sumber hukum acara perdata lain :
1). RV (Reglement of de burgerlijk
rechtsvordering). Namun ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi, kecuali
benar-benar dirasa perlu dalam praktik pengadilan.
2). RO (Reglement of de Rechterlijke
Organisatie in Het Beleid der justitie in Indonesie / Reglemen tentang
Organisasi kehakiman, S. 1847 No.23).
3). B.W buku IV, dan selebihnya tersebar dalam BW
dan Peraturan kepailitan
B.W, dalam buku
keempat dan reglement Catatan sipil memuat pula peraturan-peraturan hukum acara
perdata, kaidah-kaidah mana sejak semula hanya berlaku untuk golongan penduduk
tertentu, yang baginya berlaku hukum perdata barat
4). UU No.14
tahun 1970, tentang ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman5). UU No.20 tahun 1947, tentang Ketentuan Banding Untuk daerah Jawa dan Madura
6). Yurisprudensi
7). Adat kebiasaan
8). Perjanjian internasional
9). Perkara hukum perdata dan dagang
10). Doktrin atau ilmu pengetahuan
11).
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) sepanjang mengatur
hukum acara perdata dan hukum perdta materiil
Namun Doktrin dan SEMA
bukanlah hukum, melainkan sumber hukum tempat kita dapat menggali hukum,
sehingga tidak terikat seperti sumber yang lainnya
D.SEJARAH
SINGKAT TERBENTUKNYA HIR
Perancang
HIR adalah Ketua Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung Tentara pada tahun 1846 di
Batavia. Perancang tersebut adalah Jhr. Mr. H.L Wichers, seorang jurist
bangsawan ternama. Pada masa itu bangsa Indonesia menggunakan Staatblad 1819
No.20 yang memuat 7 Pasal perihal hukum acara perdata, sehingga Wichers
ditugaskan oleh Gouverneur Generaal Jan Jacob Rochusen untuk merancang
sebuah reglemen tentang administrasi, polisi, acara perdata, dan acara pidana
untuk diberlakukan pada bangsa indonesia.
Kemudian
setelah selesai, ada beberapa pendapat yang menganggap rancangan tersebut
terlalu sederhana, sehingga harus ditambah dengan lembaga : penggabungan,
penjaminan, intervensi, dan rekses sipil seperti apa yang terdapat di RV. Meski
demikian Wichers tidak setuju dengan alasan :
- Jika
ditambah, akan menjadi tidak terang, dan tidak sederhana lagi- RV saja yang diberlakukan jika maksutnya ingin lengkap
Setelah
negosiasi, akhirnya dalam rancangan tersebut ditambahkan suatu ketentuan
penutup yang bersifat umum, yakni pasal 393 H.I.R, termuat dalam bab kelima
belas, yang menyatakan dengan tegas bahwa pada HIR yang berlaku, jika dirasa
perlu dalam perkara perdata dapat dipergunakan aturan lain yang lebih sesuai
dan mirip dengan peraturan yang terdapat dalam R.V
Rancangan
tersebut diumumkan pada tanggal 5 April 1848 dengan Stbl. 1848 No.16 dengan
sebutan “ reglement op de uitoefening van de politie, de burgerlijk
rechtspleging en de strafvordering onder de Indonesiers en de vreemde
Oosterlingen op java en Madoera” atau lazim disebut “Het Inlands
Reglement” yang disingkat I.R, dan mulai berlaku 1 Mei 1848
Perubahan
mendalam terjadi pada tahun 1941, dimana didirikan lembaga Kejaksaan sebagai
penuntut umum yang anggota-anggotanya bukan lagi ditempatkan dibawah pamong
praja, melainkan dibawah Jaksa Tinggi dan Jaksa Agung (disebut parket dan
merupakan organisasi yang tidak terpecah-pecah (ondeelbaar). Oleh
karena itu, dalam bahasa Belanda disebut “Harzein”, sehingga I.R
selanjutnya disebut Het harzein Indonesisch Reglement, atau H.I.R,
yang kemudian dengan terjemahan setelah negara kita merdeka menjadi R.I.B
(Reglemen Indonesia diperbaharui, atau Reglemen Indonesia Baru).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar