BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Tasawuf, pada saat ini seperti
halnya syari’at, baru menunjukkan kesalihan yang bersifat individual. Banyak
orang mengerjakan shalat, puasa, zakat, dan haji atau umroh, tetapi baru
sebatas menjalankan hubungan vertical dengan Tuhan, padahal ibadahnini
sebenarnya juga mengandung dimensi horizontal, yaitu hikmahnya yang diharapkan
menimbulkan implikasi social yang positif, seperti terbentuknya sikap
istiqomah, disiplin, jujur dan semacamnya.
Begitu pula tasawuf, manfa’atnya
baru bersifat ndividual, yakni hanya mengisi dimensi lingkup kehidupan agama,
sehingga orang merasa hidupnya lebih lengkap. Kemudian praktek tasawuf dapat
menghilangkan stress, frustasi, dank arena itu orang merasa hidup sehat dan
bahagia.
Manfa’at seperti itu tentu saja
tidak salah, tapi jelas tidak cukup, kafrena ajaran tasawuf juga mengandung
nilai-nilai etika social yang amat diperlukan dalam membangun masyarakat yang
maju dan sehat, sekaligus untuk membawa keluar bangsa ini dari krisis yang
berkepanjangan.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa tujuan kita bertasawuf?
2.
Apa saja Model Perilaku
Tasawuf Menuju Kesalihan Individu dan Sosial?
1.3
Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah
menggunakan metode pustaka, yaitu Penulis menggunakan media pustaka dalam
penyusunan makalah ini.
BAB
2
PEMBAHASAN
2.1.
Tujuan tasawuf
Meningkatkan perhatian umat islam
terhadap tasawuf itu didorong oleh banyak faktor, antara lain ialah rasa tidak
puas terhadap syari’at (fiqh, hukum islam). Ketidakpuasan ini merupakan sebab
klasik yang mendorong lahirnya di masa lalu.
Pada awalnya tasawuf muncul karena
tidak puas terhadap syari’at. Sebab syari’at hanya menyentuh satu dimensi hidup
beragama, yaitu eksoteris (lahiriah) semata. Sedang hidup beragama mencakup dimensi lahiriah dan batiniyah
(esoteris). Dimensi esoteris dalam islam adalah tasawuf.
Itulah sebabnya banyak orang islam
merasa kehidupan agamanya tidak lengkap kalau hanya menjalankan syari’at. Orang
merasa ada sesuatu yang kurang jika tidak bertasawuf.[1]
Adapun tujuan tasawuf secara garis besar meliputi :
Ø
Pertama, Tasawuf yang
bertujuan untuk pembinaan aspek moral dangan berbagai aktifitas jiwa yang
berkeseimbangan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga memiliki
komitmen dan konsistensi haya kepada keluhuran moral. Tasawuf yang bertujuan
moralitas ini pada umumnya bersifat praktis dan biasa disebut Tasawuf Akhlaki.
Ø
Kedua, Tasawuf yang
bertujuan ma’rifatulloh melalui pengungkapan langsung atau kasyf.
Tasawuf jenis ini bersifat teoritis dengan seperangkat norma dan nilai yang
diformulasikan secara analitis-sistematis dan dikenal dengan Tasawuf Irfani.
Ø
Ketiga, Tasawuf yang
bertujuan memperoleh pengetahuan tentang hakikat hubungan alam manusia dengan
tuhan, tasawuf jenis ini biasa dikenal Tasawuf Falsafi.[2]
2.2.
Model Perilaku
Tasawuf Menuju Kesalihan Individu dan Sosial.
Di antara contoh-contoh sikapnya adalah :
a)
Taubat
Menurut kaum shufi yang
menyebabkan manusia jauh dari Tuhan adalah karena dosa-dosanya, sebab dosa
adalah kotoran, sedangkan Alloh adalah Dzat yang Maha Suci dan hanya menyukai
sesuatu yang suci. Karena itu untuk dapat menghayati dan berada sedekat mungkin
dengan Alloh, manusia harus membersihkan dirinya dari dosa-dosa tersebut dengan
jalan taubat.
Dzun Al Nun Al-Misri (w. 859 M)
membagi taubat menjadi dua macam:
1.
Taubah Awwam, yakni
bertaubat dari dosa dan kesalahan
2.
Taubah Khawwas, yakni
bertaubat dari lalai dan alpa dengan Tuhan.
Dengan demikian bagi kaum sufi
fungsi taubat bukan hanya menghapus dosa tetapi leih dari itu adalah sebagai syarat
mutlak agar dapat menghayati kedekatan dengan tuhan.[3]
Menurut pengarang Al-Manazil hakikat taubat
ada 3 perkara : menganggap besar terhadap tindak kejahatan, Menuduh taubatnya
(masih kurang), dan mencari alasan makhluk.
Kenapa harus menganggap besar terhadap
kejahatan (dosa)? Karena apabila seseorang menganggap enteng terhadap suatu
dosa niscaya dia tidak akan menyesalinya. Sejauh mana seseorang menganggap besar suatu dosa, sejauh itu
pulalah dia menyesal bila terlanjur melakukannya. Orang yang menganggap enteng
kehilangan uang satu rupiah –umpamanya- niscaya dia tidak akan menyesalinya.
Tetapi kalau dia mengatakan bahwa uang yang hilang adalah seribu rupiah,
niscaya dia sangat menyesalinya, dan menganggapnya sebagai sesuatu yang besar.
Sedangkan menuduh taubat
diperlukan karena taubat merupakan kewajibannya. Dia merasa tidak yakin dapat
menunaikan kewajiban ini sebagaimana mestinya, merasa takut tidak dapa
memenuhinya dengan benar, takut tidak diterima, dan takut taubatnya bercacat
sedang dia tidak merasa. Seperti taubatnya orang-orang yang mempunyai keperluan
dan mengalami kebangkrutan., atau orang-orang yang menjaga kepentingan dan
kedudukan di antara manusia. Dia taubat karena menjaga status, bukan karena
Tuhan
yang maha esa.
Di antara hal yang harus dituduh
dalam taubat ialah lemahnya kemauan, berpalingnya hati kepada dosa dari waktu
ke waktu, dan ingatan akan manisnya
melakukan perbuatan dosa. Kadang-kadang ia ber-istirahat, dan kadang-kadang
bangkit gejolaknya.
Di antara tanda-tandanya ialah matanya
beku (tidak menangis menyesali dosanya), senantiasa lalai, dan sesudah
bertaubat dia tidak melakukan amal-amal
shaleh yang belum dikerjakannya sebelum berbuat kesalahan itu.
Taubat yang diterima dan benar memiliki beberapa tanda
:
ü
Sesudah bertaubat, perilakunya
lebih baik dari sebelumnya
ü
Senantiasa takut disertai
rasa tidak aman terhadap bakasan Allah.
ü
Hatinya merasa “kapok” dan
tersayat karena penyesalan dan rasa takut. Hal ini tergantung besar kecilnya
dosa yang dilakukannya. Dan ini merupakan takwil Ibnu Uyainah terhadap firman
Allah : “ Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa menjadi
pangkal keraguan dalam hati mereka, kecuali bila hati mereka itu telah hancur.
“ (at-Taubah: 110) .
Tidak diragukan lagi bahwa
ketakutan yang besar terhadap siksaan yang besar akan membuat hati remuk redam.
Inilah kehancuran hati itu. Dan sekaligus merupakan hakikat taubat, karena
hatinya remuk redam menyesali perbuatannya yang melampaui batas dan takut
terhadap akibat buruknya.
b)
Qona’ah
Adalah menerima dan ridlo atas
pemberian Allah meski kecil nilainya
Dalam hadits disebutkan:
عزّ
من قنع وذلّ من طمع
c)
Zuhud
Adalah tiada ketergantungan hati
terhadap harta benda di luar kadar kebutuhannya[5]. Namun Banyak pihak
yang salah dalam mengasumsikan perihal zuhud. Al Imam Malik telah memberi kita
contoh, dalam kesehariannya beliau bahkan
memilih pakaian yang paling indah, kendaraan yang paling bagus, serta
segala hal yang paling mewah. Beliau
mengajakan bahwa hal itu tidaklah dilarang dalam islam, yang terpenting hati
kitalah yang harus tetap selalu dzikir kepada Allah.
d)
Sabar
Sabar diartikan dengan
hanyut(fana’) dalam bencana tanpa ada keluhan. Secara rinci Abu Nasr as-Sarraj
menjelaskan sabar adalah konsisten dalam menjauhi larangan dan memegang
perintah, dan orang yang sabar adalah orang yang hanyut bersama Alloh tanpa
protes atau mengeluh. Tetap istiqomah atau konsisten dalam melaksanakan
kewajiban dan menjauhi larangan Alloh, menerima segala musibah dan mampu
menahan ajakan nafsu terhadap hal-hal yang dilarang Alloh.[6]
e)
Belajar ilmu syari’at
Sudah kita maklumi bahwa segala
sesuatu tentu harus didasari dengan ilmu. Dalam tasawuf pun ada 3 fak ilmu
syara` yang penting dipelajari oleh para salik (penempuh jalan
spiritual). Ketiga fak ilmu itu adalah[7]:
1.
Ilmu yang dapat mengesahkan
ibadah
2.
Ilmu yang dapat mengesahkan
aqidah
3.
Ilmu yang dapat memperbaiki
hati
f)
Menjaga Sunah Rasul
Yang dimaksud yakni senantiasa mengaplikasikan dan mengimplementasikan
ajaran adab/etika keseharian Rasulullah SAW. Lantaran inti ajaran tasawuf
adalah perbaikan etika, dan etika itu sendiri sumbernya adalah hati[8].
g)
Tawakkal
Imam Ghozali dalam karyanya yang sangat monumental
dan mendunia, yaitu kitab Ihya’ Ulumu al-Dien, menyatakan bahwa banyak
perbedaan tentang definisi tawakkal. Namun pada dasarnya adalah berserah diri
setelah berusaha[9].
Al
syibli (w. 945 M) mengatakan, tawakal adalah hendaknya engkau merasa tidak ada
di hadapan Allah dan Allah senantiasa di hadapan kamu. Hal ini berarti bahwa
dalam segala hal baik sikap maupun perbuatan seseorang harus menerimanya secara
tulus. Apapun yang terjadi adalah di luar pinta dan usahanya tetapi semuanya
diyakini dari Allah semata.[10]
h)
Ikhlas
Ikhlas merupakan tingkatan yang
paling berat karena berposisi sebagai pokok dalam ibadah[11]. Adapun definisi
ikhlas adalah beramal dan beribadah murni mengharapkan ridlo Allah SWT.
Sesuai definisi di atas, ikhlas mempunyai 3 tingkatan[12]:
1.
Semata-mata hanya mengharap
ridlo-Nya
2.
Masih mengharapkan pahala
atau dihindarkan dari siksa-Nya
3.
Masih mengharap rizki dan
anugrah dari-Nya
i)
Uzlah
Adalah menyendiri dari hiruk pikuk
manusia, supaya terhindar dari hal-hal yang buruk[13].
Menurut Imam al Ghozali uzlah
adalah jalan memusatkan diri untuk ibadah, bertafakkur, dan menjinakkan hati
denga bermunajat kepada Allah SWT, sekaligus untuk menghindarkan diri dari
pergaulan dengan makhluk. Kecuali itu untuk menggunakan waktu dengan
menyingkatkan segala rahasia ciptaan tuhan baik tentang urusan duniawi maupun
ukhrowi, alam langit, dan bumi serta alam malakut yang tidak terjangkau oleh
panca indra.[14]
Ibn Taimiyah merinci macam-macam uzlah yang
disyari’atkan sebagai berikut:
a.
Uzlah yang diwajibkan yakni
menjauhi hal-hal yang diharamkan oleh Alloh dan menjalankan hal-hal yang
diperintahkan oleh Alloh
b.
Uzlah yang disunnahkan,
yaitu meninggalkan sifat yang berlebih-lebihan terhadap hal yang mubah dan
tidak bermanfa’at
c.
Uzlah yang dimubahkan,
misalnya untuk keperluan berkonsentrasi mendalami ilmu pengetahuan atau beramal
dengan mengambil tempat dan waktu tertentu tetapi harus tetap memelihara
interaksi social dan melakukan ibadah-ibadah yang memiliki konteks social.
Seperti shalat jama’ah, dan lain sebagainya
d.
Uzlah yang dilarang seperti
uzlah ditempat-tempat tertentu yang tidak ada masjid atau mushola. Seperti di
gua-gua atau kuburan manakala tempat tersebut diduga ada bekas-bekas Nabi atau
orang shalih dengan tujuan untuk memperoleh berkah. Sebab di tempat-tempat
demikian setan akan mengambil kesempatan untuk bermain dengan hal-hal yang
diduga sebagai karomah dan barokah.[15]
j)
Ridha
Menurut
al-Junaidi arti ridha adalah meninggalkan usaha(raf’u al ikhtiyar). Sedangkan
Dzun al Nun al Misri menjelaskan bahwa ridha adalah menerima ketentuan dan
kerelaan hati. Selanjutnya Dia menjelaskan tanda-tanda orang yang ridha adalah:
usaha sebelum terjadi ketantuan, lenyapnya rasa resah gelisah sesudah terjadi
ketentuan, dan cinta yang bergelora di saat terjadi mala petaka.[16]
k)
Wara’
Kata
wara’ tidak terdapat dalam Al qur’an secara harfiah, wara’ artinya menahan
diri, berhati-hati, atau menjaga diri agar tidak jatuh dari kecelakaan[17]. Syeikh Abu Ali Ad
Daqqaq menyatakan wara’ adalah meninggalkan apapun yang syubhat. “ Demikian
pula, Ibrahim bin Adam memberikan penjelasan, wara’ adalah meninggalkan sesuatu
yang meragukan, segala sesuatu yang tidak berarti dan apapun yang berlebihan”.
Diriwayatkan oleh Abu Dzar Al Ghiffari, Bahwa Rasulullah bersabda:
من
حسن الاسلام المرء تركه ما لا يعنيه
Artinya: Sebagian dari kebaikan tindakan keislaman seseorang
adalah bahwa ia menjauhi segala sesuatu yang tidak berarti. (HR. Malik bin
Anas, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Abu bakar ash-shiddiq r.a. berkata “kami
adalah selalu meninggalkan tujuh puluh yang termasuk kedalam hal-hal dihalalkan, karena khawatir
terjerumus ke dalam suatu hal yang haram.[18]
Kaum sufi mengartikan wara’
adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas halal haramnya. Ibrahim ibn adham
berpendapat wara’ adalah meninggalkan segala yang masih diragukan dan
meniggalkan kemaksiatan[19].
l)
Amanah
Menegakkan sesuatu yang menjadi hak
Allah dan hak manusia.[20]
Di atas itu adalah sebagian dari contoh-contoh
perilaku tasawuf menuju kesalihan individu dan social yang tentunya masih ada banyak lagi sikap-sikap
positif guna menuju kedekatan hati kepada Alloh SWT.
KESIMPULAN
Dari pembahasan dalam makalah ini
dapat kita ambil kesimpulan, bahwa tasawuf mengajarkan perlunya
taubat,tawakkal,zuhud dan lain sebagainya.
Taubat itu tidak hanya dicapkan tetapi
yang lebih penting lagi adalah perbuatan nyata, yakni tidak mengulangi perbutan
tercela itu dan menggantinya dengn perbuatan yang terpuji yang menguntungkan
bagi kepentingan bersama.
Kemudian ada zuhud,yang berarti
hidup sederhana dengan menjauhi kesenangan duniawi yang dapat menjerumuskan
kepada perbuatan dosa.
Mengarahkan kecenderungan tasawuf
seperti itu jauh lebih penting daripada mencernanya dengan mengatakan bahwa
tasawuf itu merupakan perbuatan bid’ah atau sesat.Caranya adalah mengkaji
tasawuf dari segi kepentingan pribadi dan masyarakat, sehingga minat pada
tasawuf tidak berhenti pada pemuasan dahaga spiritual yang brsifat pribadi
belaka.
KRITIK DAN SARAN
Dalam penulisan makalah ini
tentunya masih ada banyak sekali kekurangan, hal itu karena keterbatasan
pemikiran dari para penulis. Oleh karenanya, saran dan kritik yang konstruktif
masih sangat Kami butuhkan sebagai koreksi pada makalah selanjutnya. Semoga makalah
ini bisa bermanfa’at bagi Kita semua, amin.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Al syaikh Nawawi al-Jawi,
Salalimul Fudhola, Surabaya, Al hidayah.
2.
Imam al-Ghozali, Muhtashor
Ihya’ Ulumuddin,Surabaya,Himmah Jaya,2004.
3.
Imam al-Qusyairy
an-Naisyabury, Risalatul Qusyairiyah (Induk Ilmu Tasawuf),Surabaya,Risalah
Gusti,1997.
4.
JalaluddinRakhmat,Renungan-Renungan
Sufistik,Bandung,Mizan,1994.
5.
Dr. H. Masyharuddin,M.Ag, Pemberontakan
Tasawuf(Kritik Ibn Taimiyah atas Rancang Bangun Tasawuf),Surabaya,JP
BOOKS,2007.
6.
Hafidz Hasan Al
Mas’udi,Taisirul Khalaq fi Ilmi Akhlaq.
7.
Sayyid Abu Bakar.Kifayatul
Atqiya`.Surabaya:al Hidayah.tth.
8.
Sudirman Tebba, Tasawuf
Positif,Bogor,Kencana,2003.
9.
Zainuddin al-Malibari,
Hidaytul Adzqiya’ matni Kifayatul Atqiya’, Surabaya,Al hidayah.tth.
2 Masyharuddin,
Pemberontakan Tasawuf ( Kritik Ibn Taimiyah atas Rancang Bangun Tasawuf),
Surabaya,2007, hlm:227-228
[3]
Ibid,hlm: 231
[4]
Op.cit.hlm.19
[5]
Al-Syaikh Nawawi al-Jawi.Salalimul Fudlola`.Surabaya.al-Hidayah.tth.hlm.21
[6]
Ibid, hlm: 233
[7]
Zainuddin al-Malibari.Hidayatul adzkiya`matni Kifayatul Atqiya`.Surabaya:alHidayah.tth.hlm.23
[9]
Sayyid Abu Bakar.Kifayatul Atqiya`.Surabaya:al Hidayah.tth.hlm.29
[10]
ibid, hlm: 234
[11]
Op. cit, hlm:34
[12]
Ibid
[13]
Op.cit.hlm.37
[14]
Ibid, hlm:178
[15]
Ibid, hlm: 180-181
[16]
Ibid, hlm 235
[17]
Jalaluddin Rahmat, Renungan-Renungan Sufistik, Bandung, Mizan, 1994, hlm
101.
[18]
Imam al Qusyairy an-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah(Induk Ilmu Tasawuf),
Surabaya,Risalah Gusti, hlm 103.
[19]
Ibid, hlm 232
[20]
Hafidz Hasan al Mas’udi,Taisirul Khallaq fi Ilmi al Akhlaq,tth,hlm 26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar