Senin, 23 Januari 2012

tasawuf


BAB 1
                                                    PENDAHULUAN

1.1      Latar Belakang
Tasawuf, pada saat ini seperti halnya syari’at, baru menunjukkan kesalihan yang bersifat individual. Banyak orang mengerjakan shalat, puasa, zakat, dan haji atau umroh, tetapi baru sebatas menjalankan hubungan vertical dengan Tuhan, padahal ibadahnini sebenarnya juga mengandung dimensi horizontal, yaitu hikmahnya yang diharapkan menimbulkan implikasi social yang positif, seperti terbentuknya sikap istiqomah, disiplin, jujur dan semacamnya.
Begitu pula tasawuf, manfa’atnya baru bersifat ndividual, yakni hanya mengisi dimensi lingkup kehidupan agama, sehingga orang merasa hidupnya lebih lengkap. Kemudian praktek tasawuf dapat menghilangkan stress, frustasi, dank arena itu orang merasa hidup sehat dan bahagia.
Manfa’at seperti itu tentu saja tidak salah, tapi jelas tidak cukup, kafrena ajaran tasawuf juga mengandung nilai-nilai etika social yang amat diperlukan dalam membangun masyarakat yang maju dan sehat, sekaligus untuk membawa keluar bangsa ini dari krisis yang berkepanjangan.

1.2      Rumusan Masalah
1.       Apa tujuan kita bertasawuf?
2.      Apa saja Model Perilaku Tasawuf Menuju Kesalihan Individu dan Sosial?

1.3      Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah menggunakan metode pustaka, yaitu Penulis menggunakan media pustaka dalam penyusunan makalah ini.



BAB 2
PEMBAHASAN

2.1.    Tujuan tasawuf
Meningkatkan perhatian umat islam terhadap tasawuf itu didorong oleh banyak faktor, antara lain ialah rasa tidak puas terhadap syari’at (fiqh, hukum islam). Ketidakpuasan ini merupakan sebab klasik yang mendorong lahirnya di masa lalu.
Pada awalnya tasawuf muncul karena tidak puas terhadap syari’at. Sebab syari’at hanya menyentuh satu dimensi hidup beragama, yaitu eksoteris (lahiriah) semata. Sedang hidup beragama  mencakup dimensi lahiriah dan batiniyah (esoteris). Dimensi esoteris dalam islam adalah tasawuf.
Itulah sebabnya banyak orang islam merasa kehidupan agamanya tidak lengkap kalau hanya menjalankan syari’at. Orang merasa ada sesuatu yang kurang jika tidak bertasawuf.[1]
Adapun tujuan tasawuf secara  garis besar meliputi :
Ø  Pertama, Tasawuf yang bertujuan untuk pembinaan aspek moral dangan berbagai aktifitas jiwa yang berkeseimbangan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga memiliki komitmen dan konsistensi haya kepada keluhuran moral. Tasawuf yang bertujuan moralitas ini pada umumnya bersifat praktis dan biasa disebut Tasawuf Akhlaki.
Ø  Kedua, Tasawuf yang bertujuan ma’rifatulloh melalui pengungkapan langsung atau kasyf. Tasawuf jenis ini bersifat teoritis dengan seperangkat norma dan nilai yang diformulasikan secara analitis-sistematis dan dikenal dengan Tasawuf Irfani.
Ø  Ketiga, Tasawuf yang bertujuan memperoleh pengetahuan tentang hakikat hubungan alam manusia dengan tuhan, tasawuf jenis ini biasa dikenal Tasawuf Falsafi.[2]
2.2.    Model Perilaku Tasawuf Menuju Kesalihan Individu dan Sosial.
Di antara contoh-contoh sikapnya adalah :
a)       Taubat
Menurut kaum shufi yang menyebabkan manusia jauh dari Tuhan adalah karena dosa-dosanya, sebab dosa adalah kotoran, sedangkan Alloh adalah Dzat yang Maha Suci dan hanya menyukai sesuatu yang suci. Karena itu untuk dapat menghayati dan berada sedekat mungkin dengan Alloh, manusia harus membersihkan dirinya dari dosa-dosa tersebut dengan jalan taubat.
Dzun Al Nun Al-Misri (w. 859 M) membagi taubat menjadi dua macam:
1.      Taubah Awwam, yakni bertaubat dari dosa dan kesalahan
2.      Taubah Khawwas, yakni bertaubat dari lalai dan alpa dengan Tuhan.
Dengan demikian bagi kaum sufi fungsi taubat bukan hanya menghapus dosa tetapi leih dari itu adalah sebagai syarat mutlak agar dapat menghayati kedekatan dengan tuhan.[3]
 Menurut pengarang Al-Manazil hakikat taubat ada 3 perkara : menganggap besar terhadap tindak kejahatan, Menuduh taubatnya (masih kurang), dan mencari alasan makhluk.
Kenapa harus menganggap besar terhadap kejahatan (dosa)? Karena apabila seseorang menganggap enteng terhadap suatu dosa niscaya dia tidak akan menyesalinya. Sejauh mana seseorang  menganggap besar suatu dosa, sejauh itu pulalah dia menyesal bila terlanjur melakukannya. Orang yang menganggap enteng kehilangan uang satu rupiah­ –umpamanya- niscaya dia tidak akan menyesalinya. Tetapi kalau dia mengatakan bahwa uang yang hilang adalah seribu rupiah, niscaya dia sangat menyesalinya, dan menganggapnya sebagai sesuatu yang besar.
Sedangkan menuduh taubat diperlukan karena taubat merupakan kewajibannya. Dia merasa tidak yakin dapat menunaikan kewajiban ini sebagaimana mestinya, merasa takut tidak dapa memenuhinya dengan benar, takut tidak diterima, dan takut taubatnya bercacat sedang dia tidak merasa. Seperti taubatnya orang-orang yang mempunyai keperluan dan mengalami kebangkrutan., atau orang-orang yang menjaga kepentingan dan kedudukan di antara manusia. Dia taubat karena menjaga status, bukan karena Tuhan
yang maha esa.
Di antara hal yang harus dituduh dalam taubat ialah lemahnya kemauan, berpalingnya hati kepada dosa dari waktu ke waktu,  dan ingatan akan manisnya melakukan perbuatan dosa. Kadang-kadang ia ber-istirahat, dan kadang-kadang bangkit gejolaknya.
Di antara tanda-tandanya ialah matanya beku (tidak menangis menyesali dosanya), senantiasa lalai, dan sesudah bertaubat  dia tidak melakukan amal-amal shaleh yang belum dikerjakannya sebelum berbuat kesalahan itu.
Taubat yang diterima dan benar memiliki beberapa tanda :
ü  Sesudah bertaubat, perilakunya lebih baik dari sebelumnya
ü  Senantiasa takut disertai rasa tidak aman terhadap bakasan Allah.
ü  Hatinya merasa “kapok” dan tersayat karena penyesalan dan rasa takut. Hal ini tergantung besar kecilnya dosa yang dilakukannya. Dan ini merupakan takwil Ibnu Uyainah terhadap firman Allah : “ Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa menjadi pangkal keraguan dalam hati mereka, kecuali bila hati mereka itu telah hancur. “ (at-Taubah: 110) .
Tidak diragukan lagi bahwa ketakutan yang besar terhadap siksaan yang besar akan membuat hati remuk redam. Inilah kehancuran hati itu. Dan sekaligus merupakan hakikat taubat, karena hatinya remuk redam menyesali perbuatannya yang melampaui batas dan takut terhadap akibat buruknya.
b)      Qona’ah
Adalah menerima dan ridlo atas pemberian Allah meski kecil nilainya
Dalam hadits disebutkan:


عزّ من قنع وذلّ من طمع
Artinya: orang yang qona`ah  itu akan mulya dan orang  yang  tamak itu akan hina[4].
c)      Zuhud
Adalah tiada ketergantungan hati terhadap harta benda di luar kadar kebutuhannya[5]. Namun Banyak pihak yang salah dalam mengasumsikan perihal zuhud. Al Imam Malik telah memberi kita contoh, dalam kesehariannya beliau bahkan  memilih pakaian yang paling indah, kendaraan yang paling bagus, serta segala hal yang paling  mewah. Beliau mengajakan bahwa hal itu tidaklah dilarang dalam islam, yang terpenting hati kitalah yang harus tetap selalu dzikir kepada Allah.
d)     Sabar
Sabar diartikan dengan hanyut(fana’) dalam bencana tanpa ada keluhan. Secara rinci Abu Nasr as-Sarraj menjelaskan sabar adalah konsisten dalam menjauhi larangan dan memegang perintah, dan orang yang sabar adalah orang yang hanyut bersama Alloh tanpa protes atau mengeluh. Tetap istiqomah atau konsisten dalam melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan Alloh, menerima segala musibah dan mampu menahan ajakan nafsu terhadap hal-hal yang dilarang Alloh.[6]         
e)      Belajar ilmu syari’at
Sudah kita maklumi bahwa segala sesuatu tentu harus didasari dengan ilmu. Dalam tasawuf pun ada 3 fak ilmu syara` yang penting dipelajari oleh para salik (penempuh jalan spiritual). Ketiga fak ilmu itu adalah[7]:
1.      Ilmu yang dapat mengesahkan ibadah
2.      Ilmu yang dapat mengesahkan aqidah
3.      Ilmu yang dapat memperbaiki hati


f)       Menjaga Sunah Rasul
Yang dimaksud yakni senantiasa mengaplikasikan dan mengimplementasikan ajaran adab/etika keseharian Rasulullah SAW. Lantaran inti ajaran tasawuf adalah perbaikan etika, dan etika itu sendiri sumbernya adalah hati[8].
g)      Tawakkal
Imam  Ghozali dalam karyanya yang sangat monumental dan mendunia, yaitu kitab Ihya’ Ulumu al-Dien, menyatakan bahwa banyak perbedaan tentang definisi tawakkal. Namun pada dasarnya adalah berserah diri setelah berusaha[9].
           Al syibli (w. 945 M) mengatakan, tawakal adalah hendaknya engkau merasa tidak ada di hadapan Allah dan Allah senantiasa di hadapan kamu. Hal ini berarti bahwa dalam segala hal baik sikap maupun perbuatan seseorang harus menerimanya secara tulus. Apapun yang terjadi adalah di luar pinta dan usahanya tetapi semuanya diyakini dari Allah semata.[10]
h)      Ikhlas
Ikhlas merupakan tingkatan yang paling berat karena berposisi sebagai pokok dalam ibadah[11]. Adapun definisi ikhlas adalah beramal dan beribadah murni mengharapkan ridlo Allah SWT.
Sesuai definisi di atas, ikhlas mempunyai 3 tingkatan[12]:
1.      Semata-mata hanya mengharap ridlo-Nya
2.      Masih mengharapkan pahala atau dihindarkan dari siksa-Nya
3.      Masih mengharap rizki dan anugrah dari-Nya
i)        Uzlah
Adalah menyendiri dari hiruk pikuk manusia, supaya terhindar dari hal-hal yang buruk[13].
Menurut Imam al Ghozali uzlah adalah jalan memusatkan diri untuk ibadah, bertafakkur, dan menjinakkan hati denga bermunajat kepada Allah SWT, sekaligus untuk menghindarkan diri dari pergaulan dengan makhluk. Kecuali itu untuk menggunakan waktu dengan menyingkatkan segala rahasia ciptaan tuhan baik tentang urusan duniawi maupun ukhrowi, alam langit, dan bumi serta alam malakut yang tidak terjangkau oleh panca indra.[14]
Ibn Taimiyah merinci macam-macam uzlah yang disyari’atkan sebagai berikut:
a.       Uzlah yang diwajibkan yakni menjauhi hal-hal yang diharamkan oleh Alloh dan menjalankan hal-hal yang diperintahkan oleh Alloh
b.      Uzlah yang disunnahkan, yaitu meninggalkan sifat yang berlebih-lebihan terhadap hal yang mubah dan tidak bermanfa’at
c.       Uzlah yang dimubahkan, misalnya untuk keperluan berkonsentrasi mendalami ilmu pengetahuan atau beramal dengan mengambil tempat dan waktu tertentu tetapi harus tetap memelihara interaksi social dan melakukan ibadah-ibadah yang memiliki konteks social. Seperti shalat jama’ah, dan lain sebagainya
d.      Uzlah yang dilarang seperti uzlah ditempat-tempat tertentu yang tidak ada masjid atau mushola. Seperti di gua-gua atau kuburan manakala tempat tersebut diduga ada bekas-bekas Nabi atau orang shalih dengan tujuan untuk memperoleh berkah. Sebab di tempat-tempat demikian setan akan mengambil kesempatan untuk bermain dengan hal-hal yang diduga sebagai karomah dan barokah.[15]
j)        Ridha
Menurut al-Junaidi arti ridha adalah meninggalkan usaha(raf’u al ikhtiyar). Sedangkan Dzun al Nun al Misri menjelaskan bahwa ridha adalah menerima ketentuan dan kerelaan hati. Selanjutnya Dia menjelaskan tanda-tanda orang yang ridha adalah: usaha sebelum terjadi ketantuan, lenyapnya rasa resah gelisah sesudah terjadi ketentuan, dan cinta yang bergelora di saat terjadi mala petaka.[16]
k)      Wara’
Kata wara’ tidak terdapat dalam Al qur’an secara harfiah, wara’ artinya menahan diri, berhati-hati, atau menjaga diri agar tidak jatuh dari kecelakaan[17]. Syeikh Abu Ali Ad Daqqaq menyatakan wara’ adalah meninggalkan apapun yang syubhat. “ Demikian pula, Ibrahim bin Adam memberikan penjelasan, wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang meragukan, segala sesuatu yang tidak berarti dan apapun yang berlebihan”. Diriwayatkan oleh Abu Dzar Al Ghiffari, Bahwa Rasulullah bersabda:
من حسن الاسلام المرء تركه ما لا يعنيه                                   
 Artinya: Sebagian dari kebaikan tindakan keislaman seseorang adalah bahwa ia menjauhi segala sesuatu yang tidak berarti. (HR. Malik bin Anas, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
 Abu bakar ash-shiddiq r.a. berkata “kami adalah selalu meninggalkan tujuh puluh yang termasuk kedalam hal-hal dihalalkan, karena khawatir terjerumus ke dalam suatu hal yang haram.[18]
Kaum sufi mengartikan wara’ adalah meninggalkan segala sesuatu            yang tidak jelas halal haramnya. Ibrahim ibn adham berpendapat wara’ adalah meninggalkan segala yang masih diragukan dan meniggalkan kemaksiatan[19].
l)        Amanah
Menegakkan sesuatu yang menjadi hak Allah dan hak manusia.[20]
 Di atas itu adalah sebagian dari contoh-contoh perilaku tasawuf menuju kesalihan individu dan social yang tentunya masih ada banyak lagi sikap-sikap positif guna menuju kedekatan hati kepada Alloh SWT.

KESIMPULAN

Dari pembahasan dalam makalah ini dapat kita ambil kesimpulan, bahwa tasawuf mengajarkan perlunya taubat,tawakkal,zuhud dan lain sebagainya.
Taubat itu tidak hanya dicapkan tetapi yang lebih penting lagi adalah perbuatan nyata, yakni tidak mengulangi perbutan tercela itu dan menggantinya dengn perbuatan yang terpuji yang menguntungkan bagi kepentingan bersama.
Kemudian ada zuhud,yang berarti hidup sederhana dengan menjauhi kesenangan duniawi yang dapat menjerumuskan kepada perbuatan dosa.
Mengarahkan kecenderungan tasawuf seperti itu jauh lebih penting daripada mencernanya dengan mengatakan bahwa tasawuf itu merupakan perbuatan bid’ah atau sesat.Caranya adalah mengkaji tasawuf dari segi kepentingan pribadi dan masyarakat, sehingga minat pada tasawuf tidak berhenti pada pemuasan dahaga spiritual yang brsifat pribadi belaka.

KRITIK DAN SARAN

Dalam penulisan makalah ini tentunya masih ada banyak sekali kekurangan, hal itu karena keterbatasan pemikiran dari para penulis. Oleh karenanya, saran dan kritik yang konstruktif masih sangat Kami butuhkan sebagai koreksi pada makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfa’at bagi Kita semua, amin. 








DAFTAR PUSTAKA

1.      Al syaikh Nawawi al-Jawi, Salalimul Fudhola, Surabaya, Al hidayah.
2.      Imam al-Ghozali, Muhtashor Ihya’ Ulumuddin,Surabaya,Himmah Jaya,2004.
3.      Imam al-Qusyairy an-Naisyabury, Risalatul Qusyairiyah (Induk Ilmu Tasawuf),Surabaya,Risalah Gusti,1997.
4.      JalaluddinRakhmat,Renungan-Renungan Sufistik,Bandung,Mizan,1994.
5.      Dr. H. Masyharuddin,M.Ag, Pemberontakan Tasawuf(Kritik Ibn Taimiyah atas Rancang Bangun Tasawuf),Surabaya,JP BOOKS,2007.
6.      Hafidz Hasan Al Mas’udi,Taisirul Khalaq fi Ilmi Akhlaq.
7.      Sayyid Abu Bakar.Kifayatul Atqiya`.Surabaya:al Hidayah.tth.
8.      Sudirman Tebba, Tasawuf Positif,Bogor,Kencana,2003.
9.      Zainuddin al-Malibari, Hidaytul Adzqiya’ matni Kifayatul Atqiya’, Surabaya,Al hidayah.tth.




[1] Sudirman tebba, Tasawuf  Positif,  Bogor, Kencana, 2003, hlm :137-138
2 Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf ( Kritik Ibn Taimiyah atas Rancang Bangun Tasawuf), Surabaya,2007, hlm:227­-228

[3] Ibid,hlm: 231
[4] Op.cit.hlm.19
[5] Al-Syaikh Nawawi al-Jawi.Salalimul Fudlola`.Surabaya.al-Hidayah.tth.hlm.21
[6] Ibid, hlm: 233
[7] Zainuddin al-Malibari.Hidayatul adzkiya`matni Kifayatul Atqiya`.Surabaya:alHidayah.tth.hlm.23
8  op.cit.hlm.25
[9] Sayyid Abu Bakar.Kifayatul Atqiya`.Surabaya:al Hidayah.tth.hlm.29
[10] ibid, hlm: 234
[11] Op. cit, hlm:34
[12] Ibid
[13] Op.cit.hlm.37
[14] Ibid, hlm:178
[15] Ibid, hlm: 180-181
[16] Ibid, hlm 235
[17] Jalaluddin Rahmat, Renungan-Renungan Sufistik, Bandung, Mizan, 1994, hlm 101.
[18] Imam al Qusyairy an-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah(Induk Ilmu Tasawuf), Surabaya,Risalah Gusti, hlm 103.
[19] Ibid, hlm 232
[20] Hafidz Hasan al Mas’udi,Taisirul Khallaq fi Ilmi al Akhlaq,tth,hlm 26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar